Ini adalah bagian yang aku suka di novel “Zarui” karya Dian K. Regia yang nantinya berubah nama menjadi Kayla karna Ia tidak ingat siapa namanya akibat telah di sihir oleh Erica, peramal kerajaan Tribiald yang ingin menggantikan posisi ayahanda Regia dengan licik. Ia disihir dengan dicuci otaknya bersama dengan Nina, pengawal sekalius sahabatnya. Nina juga disihir oleh Erica menjadi peri yang tidak bisa berbicara. Ternyata Erica menginginkan liontin kerajaan yaitu serpihan kristal zauri yang konon sangat hebat kekuatannya dan dapat menjadikannya penguasa, tidak hanya di Tribiald saja. Namun tanpa sepengetahuan Erica, ternyata serpihan kristal Zarui ada di Regia yang sudah terlanjur Ia kirim ke Hutan Gizmoa.
Ini adalah bab 2 di buku “Zauri” tersebut. Di bab ini juga Kayla alias Regia bertemu pertama kali dengan Dios♥ tapi Dios yang ini masih bersikap dingin ke Kayla—Regia.
Hutan Gizmoa adalah tempat paling menakutkan di seluruh Elgamb. Di dalamnya banyak makhluk aneh yang tidak hanya menyeramkan tapi juga buas. Tak banyak yang mempunyai nyali untuk masuk kesana. Di sana tumbuh pohon-pohon raksasa dengan tajuk yang lebar, membuat langit tak terlihat, berdiri rapat dengan akar-akarbesar simpang siur membelit kemna-mana. Kebanyakan, penghuni hutan itu kalau tidak buas, ya..., beracun. Nyaris mustahil bagi manusia untuk berjalan-jalan disana dan pulang dalam keadaan seperti semula.
Satu-satunya sungai yang melintasi Hutan Gizmoa, Sungai Roan, mengalir berkelok tak henti. Di tempat-tempat tertentu yang lebih dalam terlihat beberbagai ikan, berenang sendiri atau berkelompok. Salah satu belokan bertemu dengan daretan yang landai, teduh, dan berhamparan rumput. Sesosok tubuh tergeletak di sana.
Perlahan-lahan matanya membuka. Pandangannya langsung tertumbuk pada sepasang mata hitam kecil yang aneh tanpa bola mata.
Sepasang mata hitam itu ternyata milik wajah mungil, dengan tbuh yang mungil pula, yang terbang melayang dengan sepasang sayap. Di sekelilingnya berkilauan debu-debu cahaya, mirip bintik atau bubuk, bertaburan indah kemudian hilang perlahan, Nymph—peri, pikirnya.
Peri itu terbang mengitarinya. Tingginya tidak lebih dari satu jengkal. Si peri kemudian hinggap di ujung lututnya yang terlipat di depan dada.
“Aku tak tahu siapa kau,” kata si gadi pada si peri. “Aku...—“
Dia memandang berkeliling dan mulai sadar. Aneh! Ia rak tahu bagaimana bisa sampai di tempat ini. ia tak bisa ingat... namanya. Lama Ia berpikir. Tetapi, titik terang tak juga datang. Dipandangnya peri itu.
“Kau kenal aku?”
Si peri mengangguk.
“Aku tak ingat siapa namaku...”
Terbang ke arah wajahnya, si peri berusaha mengatakan sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar. Semakin lama wajahnya semakin panik. Ia begitu ingin mengatakan sesuatu.
“Oh..., rupanya kau tidak bisa bicara,” kata gadis itu. Si peri terlihat putus asa, tetapi malah semakin bersemangat, tangan mungilny bergerak-gerak kian kemari.
“Sudahlah,” gadis itu menghela napas.
Dari kejauhan terdengar berbagai suara geraman dan lolongan binatang. Gadis itu sadar matahari sudah terbenam.
“Dengar,” katanya. “Kau mau jadi temanku?”
Pertanyaannya sekarang di balas anggukan.
“Sekarang sudah malam. Ini hutan yang sangat lebat, dan binatang-binatang penghuninya juga sudah mulai terdengar. Lebih baik kita cari tempat untuk tidur”
Mendengar kata-katanya, peri langsung terbang menjauhi sungai. Cahayanya terlihat jelas karena hari sudah malam.
“Hei! Tunggu! Mau kemana?”
Si peri berhenti.
“Kau mau aku mengikutimu?”
Sepasang tangan mungil melambai, menyuruh si gadis maju.
“Baiklah.”
Si gadis mengikuti sang peri. Ternyata, tak jauh dari situ ada sebuah gua kecil. Mungkin lebih tepat disebut lubang karena ukurannya lebih mungil. Untuk masuk ke dalamnya harus merangkak. Lubang itu ternyata agak lapang, cukup untuk tidur dua orang. Rupanya ada binatang yang pernah bersarang di situ karena ada banyak sekali rumput kering. Gadis itu merasa lega karena di situ hangat.
“Nah kita sudah punya tempat tidur,” katanya, lalu meringkuk di atas timbunan rumput kering. “Kemarilah.”
Si peri langsung terbang ke pelukannya. Kemudian, mereka tertidur.
***
Keesokan paginya, ia terbagun karena si peri menarik-narik tangannya. Masih amat mengantuk ia berusaha bangkit.
“Ada apa? Sudah pagikah?” tanyanya, menguap.
Tetapi, si peri terbang berputar-puter dengan wajah cemas. Lalu menunjuk-nunjuk lubang masuk. Ia sudah hendak menyuruh si peri berhenti berputar ketika ia kemudian mendengar suara-suara dari arah luar. Ada yang berusaha masuk ke dalam sebuah lobang.
Tiba-tiba, sebuah kepala reptil muncul. Hampir sebesar kepala manusia!
“Aaah!” gadis itu menjerit karena terkejut.
Sepasang mata kuning besar mengerjap, menatapnya. Kemudian, mulut makhluk itu membuka, memamerkan gigi-gigi kecil yang tajam mendesis. Sedetik kemudian, kepala itu menyambar!
Untung saja gadis itu sempat menghindar. Terundur ia sampai dinding belakang, gemetar karena takut dan kaget. Makhluk itu bergerak maju. Tak bisa bergerak lagi, gadis itu meraba-raba lantai gua dan teraih olehnya sebuah batu. Tanpa pikir panjang lagi dilemparkannya batu itu. Tepat kena mata binatang itu!
Makhluk itu meraung kesakitan. Tetapi, alih-alih mundur ia malah semakin mendekati calon mangsanya yang terpojok di sudut gua. Tak ada harapan lagi sekarang...!
Sekonying-konyong makhluk itu berhenti. Lalu, seperti ada yang menariknya dari luar gua, ia mundur dengan cepat dan menghilang di pintu masik. Selama beberapa menit kemudian terdengar suara geraman, raungan dan bunyi dua benda beradu, sangat berisik. Makhluk itu sedang bekelahi dengan sesuatu.
Masih meringkuk dengan si peri memeluk lehernya, gadis itu menajamkan telinganya dan selama beberapa menit berusaha untuk tidak gemetar. Kelihatannya perkelahian itu sudah usai, karena suara-suara berisik itu telah berhenti. Apakah makhluk itu sudah mati? Atau, justru sebaliknya, sedang menunggu di luar lubang, hendak melanjutkan perburuannya yang tadi terhenti sebelum perkelahian? Merasa tak ada gunanya meringkuk terus, gadis itu memberanikan diri keluar lubang.
Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah makhluk tadi, sejenis kadal raksasa berkulit tebal, terlentang dengan sebatang pedang yang tertancap di perutnya. Di sebelahnya, berdiri seorang pemuda jakung berambut ckelat tua, pakaiannya berwarna gelap.
Lega karena makhluk tadi sudah mati, disapanya pemida itu dengan gembira, “Hai!”
Pemuda itu menoleh. Mata hitamnya menatap dingin.
“Aku...—eh..., ingin mengucapkan terima kasih,” kat si gadis. “Kau seudah menyelamatkan hidupku”
“Aku tidak menolongmu,” balas si pemuda dingin. Diambilnya sebuah botol mungil dari sebuah tas kulit, lalu berpaling ke arah makhluk itu.
Tercengang mendengar jawabannya, si gadis menatap si pemuda, yang sedang mengorek mulut makhluk itu dengan sebilah pisau. Tak lama pemuda itu bangkit. Botol yang dibawanya kini penuh cairan bening kehijauan. Disimpannya hati-hati ke dalam tas kulitnya.
“Apa itu?” tanyanya ingin tahu.
“Bisa aloft,” jawab si pemuda sambil lalu, mencabut pednagnya, lalu berjalan ke arah sungai untuk membersihkan darah yang melekatinya.
“Bisa...—apa?”
“Aloft.”
Si pemuda menoleh singkat ke arah makhluk itu. Rupanya makhluk itulah yang ia sebut Aloft.
“Begini...,” kata si gadis mendekati si pemuda yang kini mengikatkan tas kulit ke pinggangnnya. “Mungkin kau tidak menyadari telah menolongku. Aku cuma mau bilang terima kasih.”
“Sudah kubilang, aku TIDAK menologmu.”
“Aku tadi di dalam gua, ,akhluk itu menyerangku...”
“Salahmu sendiri kenapa diam di sana.”
Si gadis mulah gusar. “Hei, aku Cuma mencari tempat untuk tidur, tahu!”
“Kau tidur di sarangnya!”
Pemuda itu berbalik pergi.
“Hei!” panggil si gadis. “Kau tahu jalan keluar dari hutan ini? Aku tak tahu harus kemana.”
“Itu urusanmu,” jawab si pemuda dingin, lalu bergegas pergi dengan langkah cepat.
“Tunggu!”
Tetapi yang d panggil tidak menoleh, terus berjalan, lalu dengan cepat menghilang di balik pepohonan. Si gadis menghela napas panjang. Setidaknya ia masih hidup, pikirnya. Lebih baik cepat keluar dari hutan.
Merasa haus, ia berjalan ke arah sungai, meraup tangannya ke air. Lalu untuk pertama kali ia melihat wajahnya.
Sepasang mata biru tua balas memandangnya. Rambutnya cokelat, agak berantakan, dan di sana-sini banyak tersembul rumput kering.
Namun, yang aneh adalah sesuatu di keningnya, tepat di tengah. Kira-kira sebesar buku jari kelingking, menempel sebuah kristal berwarna ungu muda, nyaris transparan, berkilauan memantulkan cahaya matahari. Dirabanya kristal itu. Tak mau lepas. Jika ditarik, rasanya sakit. Akhirnya ia menyerah, mengalihkan perhatiannya pada penampilannya. Setelah mencuci muka dan menyingkirkan rumput dari rambutnya, ia berpaling menarik si peri untuk mengajaknya pergi.
Mereka menyusuri sungai ke arah hilir. Sesekali berhenti untuk minum, atau bersembunyi di balik semak-semak jika ada hewan yang lewat. Ia tak mau mengambil resiko berhadapan dengan aloft lagi, setelah tau giginya tajam, juga berbisa. Merea berpapasan dengan berbagai hewan berwujud aneh. Ada yang sempat mengejar, makhluk berkaki empat bertanduk satu yang langsung bangkit begitu melihatnya. Hewan itu baru berhenti setelh dengan panik memanjat pohon—si peri terbang, sebetulnya—secepat mungkin dan tanduk hewan agresif itu menancap dengan bodoh di batang pohon. Ada pula seekor hewan kecil berbulu, berkaki pendek, yang jusru berlari terbirit-birit dengan ekor panjang melambai-lambai begitu melihat mereka. Yang menjengkelkan adalah seekor serangga kecil mungil, yang melompat tiba-tiba dan menggigit kulit, meninggalkan bekas kemerahan yang gatal bukan main.
Tumbuhan yang di hutan itu juga amat beragam, berukuran tak lazim. Kebanyakan pohon adalah pohon biasa, hanya... berukuran raksasa. Tetapi, tumbuhan yang lebih berukuran kecil banyak yang berwana aneh atau bahkan bertingkah laku aneh. Tumbuhan berbentuk kantung, misalnya. Berwarna hijau cerah, dengan tinggi kira-kira satu meter. Beberapa sulur panjangmanjalar dari bagian bawah ‘kantung’nya. Ketika didekati sulur itu langsung hidup dan menyambar-nyambar, membuat mereka bergegas menyingkir.
Tak jauh dari tumbuhan kantung itu terdapat sebatang pohon berbuah lebat. Si peri langsung terlihat girang dan tak lama kemudian merekan asyik makan buahnya. Dengan menyatuan beberapa daun yang cukup lebar, si gadis membuat semacam kantung dan memasukkan beberapa buah berwarna ungu itu sebagai bekal, kemudian meneruskan perjalanan.
***
sebenernya di bab ini masih ada lanjutannya, tp di potong aja duluu :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar