Di bab ini, Dian K, sang pengarang novel ‘Zauri’ ini menceritakan bahwa Dios melawan kakaknya sendiri—Mario—dan melawan Erica, yang akan melaksanakan niat buruknya itu. Dan pada akhir bagian dijelaskan salah satu diantaranya akan mati. Siapakah itu?
BAB 16—API DAN ES—
Hari sudah hampir gelap ketika mereka tiba di tepi sungai. Sudah hampir dua jam mereka mencari, tetapi belum juga ketemu.
“Dios, apakah orang berkerudung yang menghilang tadi adalah Mario?”
“Bukan. Dari suaranya jelas ia adalah seorang wanita,” jawab Dios sambil turun dari mohaz. “Kita harus memberi kesempatan mohaz ini untuk beristirahat, ia sudah hampir kehabisan napas.”
Kayla melompat turun. Diperhatikannya Dios membawa mohaz itu ke sungai untuk minum. Memandang berkeliling, Kayla memperhatikan tempat itu, rerumputan yang tebal, pepohonan yang rimbun, gemercik air, mengingatkannya pada sesuatu...
“Dios!” panggil Kayla. “Kau tahu tidak?”
“Apa?”
“Ini tempat pertama kali kita bertemu!” sahut Kayla riang.
Dios melayangkan pandangan ke sekitar, mengingat-ingat.
“Kau benar,” katanya. Dihampirinya Kayla.
“Kau ingat tidak, kau mencucui pedangmu disini, lalu di sebelah sana...—“
BLAR! Tempat yang ditunjuk Kayla terbakar dengan suara letusan keras.
“A...—apa itu?” terundur karena terkejut, Kayla menoleh pada Dios, yang memegang erat pedangnya. Tiba-tiba, sebuah suara terdengar.
“Wah..., wah..., kalian sedang kencan upanya. Manis sekali. Sayangnya, ini mungkin kencan terakhir kalian!”
Wajah Dios menegang.
“Mario! Di mana kau? Ayo, keluar!”
“Keluar?” jawab Mario, tertawa mengejek. “Tapi, aku tak pernah bersembunyi, Adikku. Apa kau pikir aku pengecut?”
Mario muncul dari kegelapan, tampak mirip dengan Dios. Dari seluruh tubuhya berpendar cahaya aneh.
“Harus kuakui, kau lebih baik daripada yang kukira. Tak disangka kau bisa meloloskan diri dari letusan Gunung Ner.”
“Apa yang kau lakukan pada Raja?”
“Oh,” jawab Mario mengibaskan tangan meremehkan. “”Raja Eluan tidak mau bekerja sama denganku—lagi pula aku tidak begitu berminat padanya. Jadi, aku menghukumnya.”
“Menghukumnya?! Kau membunuhnya!”
“Apa boleh buat?” Mario maju beberapa langkah. “Sebentar lagi aku akan jadi penguasa Elgamb yang baru, jadi aku harus mengadakan perombakan besar-besaran. Sayangnya, anak-anaknya lolos, bahkan Jort pun terpaksa kuhabisi sebelum membocorkan rahasia. Tak apalah, mereka berdua akan mati juga akhirnya.”
“Lalu, udara panas itu? Apa maksudmu sebenarnya?” geram Dios.
Mario berjalan ke arah mohaz yang masih minum dengan tenangnya.
“Rupanya kau sudah melihat hasil karyaku. Bagaimana? Apa kau menyukainya?” jawab Mario sambi tertawa.
Dios Cuma menatapnya tajam.
“Hm. Sepertinya kau tidak meyukainya. Tapi, aku akan mengadakan pesta keberhasilan. Bagaimana kalau kutraktir makan daging panggang? Kujamin rasanya enak!”
Mario menusukkan pedangnya pada mohaz Dios, yang langsung, meronta-ronta, menguik-nguik kesakitan memilukan hati. Kayla terpekik karena kaget, dan Dios langsung mengambil tempat di depan Kayla untuk berjaga-jaga.
Mohaz yang ditusuk Mario tidak berumur panjang. Di tengah kuikkannya yang semakin keras, tiba-tiba saja mohaz itu terbakar api yang besar, menghentikan semua tanda-tanda kehidupan darinya. Ketika api padam, mohaz itu sudah mati.
“Nah, dagingnya sudah matang. Kau mau bagian yang mana?” Mario menawarkankan dengan ramah.
“Makan saja sendiri!” jawab Dios jijik. “Aku datang untuk menghentikanmu!”
“Kau? Menghentikanku?” Mario tertawa terbahak-bahak.
“Kau keterlaluan, Mario! Kerusakan yang kauperbuat sudah cukup banyak, sekarang apalagi yang kau inginkan?”
“Sudah kubilang, aku akan jadi penguasa yang baru!” teriak Mario, ekspresinya berubah tidak mengolok-olok Dios lagi. “Tapi, aku tak punya jabatan untukmu, Adikku. Kau akan menyulitkanku di masa mendatang. Jadi, maaf saja, aku lebih suka menghabisimu!”
Mario mengayunkan pedangnya, yang langsung ditangkis Dios yang berteriak menyuruh Kayla minggir. Kayla menyingkir menjauh, didampingi oleh Mio. Aduh, bodoh sekali ia tidak membawa senajata! Dengan camas diperhatikannya pertarungan antara kakak beradik itu dari pinggir.
Mario sangat hebat. Cepat dan tangguh. Hampir setiap sabetan pedangnya menuju bagian-bagian yang vital. Sejauh ini yang bisa Dios lakukan hanya menangkisnya, itupun sudah merupakan prestasi tersendiri karena mengimbangi Mario sungguhlaj sulit. Secara teknis Mario lebih unggul, tetapi Dios tidak mau menyerah begitu saja. Kayla sangat khawatir, apakah Dios bisa mengalahkannya?
Dios bergulung untuk menghindari tikaman Mario, kemudian langsung berdiri untuk mengatur napas.
“Hanya itu yang kau bisa?” tawa Mario. “Kukira kau lebih baik dari ini!”
“Katakan, Mario,” kata Dios, mengangkat pedangnya didepan dada. “Kenapa kau membunuh Nenek Luina?”
“Sayang sekali, kau salah alamat, Doios,” jawab Mario santai. “Orang lain yang melakukannya.”
“Bohong!”
“Hanya para pengecut yang suka berbohong. Atau, kau memang biasa melakukannya? Ck! Rendah sekali!”
Kabut tebal muncul dari tebasan Endymion, begitu dinginnya sehingga bunga-bunga es muncul di pucuk-pucuk rerumputan. Saat Kayla mengura Mario akan membeku, tetapi kemudian lidah api muncul dai telapak tangannya.
“Untuk apa kau melakukan itu?” teriak Mario mengejek. “Apa kau sudah lupa aku menguasai Api?”
Api menghanguskan rerumputan dalam sebuah garis lurus ke arah Dios, membuatnya melompat menghindar. Mario melancarkan serangan apinya bertubi-tubi sehingga beberapa saat Dios hanya bisa menghindar. Beberapa kali lidah api membakar kulitnya.
“Nah, bagaimana sekarang? Apa kau sudah cukup hangus?”
Mario menghentikan serangannya sejenak. Kelihatannya ia sudah kehilangan cukup banyak energi karena ia terlihat tersengal, tetapi keadaan Dios jauh lebih buruk darinya. Beberapa bagian tubuhnya merah terbakar.
“Ck! Kau masih bisa berdiri! Mengalahkanmu ternyata memakan waktu. Harus kuakui, kau pantas menjadi adikku. Sayang, kau harus mati!”
Lima sabit perak berkelebat. Mario sangat terkejut hampir terlambat menghindar, tetapi sabit-sabit itu berhasil merobek ujung pakaiannya dan menggores pipinya.
Dua bersaudara itu berdiri berhadapan, saling menatao tajam. Dios berdiri diam dengan pedang menyilang di depan dada. Keadaan ditempat itu berantakan. Beberapa pohon rubuh terhantam sabit perak; sebagian rumput hangus berasap dan di beberapa tempat justru beku. Pemandangan yang aneh. Mengabaikan dariah yang menetes dipipinya, Mario memandang adiknya.
“Lumayan, Dios. Apa ayah yang mengajarimu?” tanya Mario dingin.
“Aku belajar sendiri.”
“Boleh juga kau. Tapi aku ingin kau mencicipi bola apiku,” sahut Mario.
Tangan kirinya terangkat seinggi dada, telapaknya menghadap ke langit. Perlahan, terbentuk di atas tangannya, bola api yang semakin lama semakin besar dan bercahaya.
Dios bergeming.
“Aku ingin kau jujur, Mario,: kata dios, pedangnya masih menyilang di depan dada. “Apa kau mencintai ayah dan ibu?”
Alis Mario bertaut mendengar pertanyaan Dios. “Pertanyaan bodoh!”
“Ayo, jawab!”
Sebagai jawaban, Mario melempar bola apinya. Endymion berkelebat dan muncullah sabit perak yang besar, menyambut bola ap itu. Keduanya bertabrakan.
Sebuah ledakan yang amat keras terdengar ke seantero huta. Sebagai akibat ledakan itu, percikan api dan potongan es terpencar ke segala arah, di sertai energi yang cukup untuk membakar tempat itu dan menghantam pohon-pohon sampai hancur. Mario dan Dios terpental, sementara Kayla bersyukur masih sempat meraih Mio sebelum menjatuhkan diri ke tanah.
Selama beberapa saat tempat itu disesaki oleh asap yang berasal oleh api dan kabut dingin yang di akibatkan oleh sabit perak. Terbatuk-batuk karena paru-parunya yang sesak, Kayla bangkit dan berusaha melihat apa yang terjadi pada Dios. Dios berlutut, bertumpu pada Endymion, tersengal dan beberapa bagian tubuhnya menghitam. Keadaan Mario tidak lebih baik, lengannya terkula, bajunya robek besar, dan ada tanda memar di dadanya. Perisai Elgamb entah terlempar kemana.
“Kau belum menawab pertanyaanku, Mario,” Dios berkata dingin.
“Mereka menghalangi jalanku,” desis Mario penuh kebencian. “Mereka pantas menerimanya!”
Dios memejamkan mata mendengar jawaban Mario, merasa sedih dan pedih.
“Kalau begitu, aku tak bisa memaafkanmu. Akan ku kejar kau sampai kapan pun!”
Kemudian, secepat kilat, Dios mengirimkan kabut es ke arah Mario, yang mencoba menangkis dengan apinya., tetapi terlambat. Mario terbanting, jatuh terlentang di tanah.
Tidak menyia-nyiakan waktu sedetikpun, Dios melompat ke atas Mario, dengan Endymion di leher kakaknya itu. Mario tersentak karena menyadari Dios berhasil mengunggulinya.
“Ayo, tusuk!” tantang Mario, menyeringai. “Kau tak mampu malakukannya!”
“Siapa bilang?!” bantah Dios, namun tak urung ia ragu juga. Bagaimanapun, mario adalah kakaknya. Tegakah ia menghabisi satu-satunya orang yabg sedarah daging dengannya? Di sisi lain, kalau Mario dibiarkan hidup, dunia ini akan terancam.
“Kau tak akan bisa Dios!” ejek Mario kemudian. “Kau terlalu pengecut untuk membunuhku!”
Dios terdiam. Di dalam hatinya berkecamuk dua pilihan yang sama beratnya. Kayla yang melihat dari jauh, berdiri dengan hati berdebar.
Dan, Mario melihatnya.
“Kau tahu, aku bisa mengajarimu cara membunuh yang baik,” kata Mario, tersenyum kejam.
Dios terperangah. Mario berada di bawah ancaman pedangnya, bagaiman bisa...
Tangan Mario bergerak sedikit ke arah Kayla, namun akibatnya mengejutkan. Kayla terangkat dari tanah!
“A...—apa ini?” Kayla berseru keheranan, menendang-nendang udara di bawahnya sia-sia. “Turunkan aku!”
Dios terpana melihat Kayla meronta-ronta di udara. Ia berpaling pada Mario, mencoba membuatnya menurunkan Kayla.
“Apa yang kau lakukan? Jangan ganggu dia!”
Mario tertawa senang. “Ah, rupanya kau tak mau kehilangan dia! Apa dia sangat berarti bagimu?”
“Turunkan dia!” bentak Dios geram. Pedangnya makin dalam mengancam leher Mario, tetapi Mario hanya tertawa.
“Kau sudah kalah, Dios. Untuk membunuh kau tidak boleh punta nurani, dank au jelas gagal pada ujian! Sekarang lihatlah baik-baik, beginilah cara yang benar untuk menghabisi seseorang!”
Kata-kata Mario membuat Dios merasa ngeri, apalagi karena sedetik kemudian Kayla menjerit keras sekali. Cepat ia berpaling ke arah Kayla.
Segumpal api yang besar membakar Kayla, persis seperti yangterjadi pada mohaz tadi awalnya, Kayla tersengat rasa panas, tetapi anehnya kemudian rasa panas itu menhhilang, ia hanya medasa hangat. Tetapi, ia tidak bias bernapas, dan sesaklah yang mencekik lehernya. Api telah mengisap habis udara di sekitarnya. Megap-megao, Kayla mengapai-gapai dengan kedua tangannya. Sia-sia. Mio pun sama sekali tak bias mendekat.
Tanpa piker panjang laggi Dios melepas Mario, lalu berlari ke arah Kayla sambil mengerahkan energinya untuk mengeluarkan kabut es. Sapuan udara dingin seketika memadamkan api yang menyelimuti Kayla. Kemudia, ia terjatuh ke tanah. Terbatuk, Kayla berusaha mengisi paru-parunya dengan udara segar, dan samar-samar dilihatnya Mio dengan wajah khawatir.
“Kayla! Kau tidak ap…—AARGH!”
Dios yang sedang menghampiri Kayla tiba-tiba berteriak kesakitan. Mario telah membuat semacam cambuk api, melilit erat tangan kanan Dios. Endymion terlepas dari tangannya. Ketika akhirnya cambuk itu lenyap, Dios berlutut di tanah memegangi tangannya yang perih.
Merasa lega setelah akhirnya bias bernapas lagi, Kayla membuka matanya dan mendapati Dios berlutut dengan tangan kanan yang hitam terbakar.
“Dios? Kenapa tanganmu…?”
“Kau sudah menyia-nyiakan kesempatan, Dios!” teriak Mario membahana. “Kau terlalu pengecut untuk membunuhku, dan sekarang, lihatlah apa yang bias ku lakukan sementara kau tidak bisa!”
Mario berjalan melewati Dios, menuju Kayla yang mundur ketakutan. Mario terlihat begitu menakutkan dengan matanya yang menyorot tajam pada Kayla. Pedangnya terhunus dan siap mencabiknya jadi serpihan!
Kayla kehilangan keberanian entah kenapa ia tidak berdaya. Ketika punggungnya menyentuh batang pohon, Kayla tahu waktunya seudah habis. Ia memejamkan mata tepat pada saat Mario mengangkat pedangnya. Selamat tinggal…
“Ugh!”
Kayla membuka mata dan mendapatii Mario terpaku dengan mata membelak, tepat di depannya. Ia semakin heran ketika pedang yang berwarna merah itu terlepas dari tanga Mario dan jatuh ke tanah dengan suara berat. Setelah ia melihat sabit perak menancap di punggung Mario, mengucurkan darah, barulah ia tahu apa yang terjadi.
Dios berdiri terengah di kejauhan. Rupanya, ia berhasil melepas sabit perak dengan tangan kirinya. Tetapi, kelihatannya Dios telah mengerahkan seluruh tenaganyayang tersisa, karena kemudian ia roboh. Melihatnya, Kayla merasa khawatir sekaligus lega.
Tetapi, ketika melihat lagi ke arah Mario, ia tahu bahwa ini semua belum berakhir. Sabit perak itu berasap! Ketakutan, Kayla menyingkir. Tiba-tiba, dalam satu letupan, segumpal api muncul dan membakar habis sabit perak itu sampai menguap, kemudian perlahan Mario bangkit lagi.
“Oh, tidak…!” bisik Kayla, gemetar.
“Kayla, cepat pergi dari situ!” teriak Dios parau.
Kayla tidak bisa bergerak, kakinya membeku! Dengan ngeri dipandangnya Mario yang menatapnya bengis. Tetapi, Mario justru berpaling ke arah Dios, berdiri angkuh menantang adiknya ynag terkapar di tanah.
“Rupanya kau sudah bosan hidup!” teriaknya menggelegar. “Kalau begitu, bersiaplah dan ucapkan selamat tinggal padanya!”
Mario mengangkat kedua tangannya, kemudian bola api sangat besar terbentuk, semakin lama semakin padat. Sekali lihat saja Kayla tahu, Dios tak akan bisa bertahan dari serangan Mario kali ini. Cemas, ia berpaling pada Dios yang masih tergeletak di tanah, padahal bola api Mario sudah membesar. Harapannya timbul ketika Dios menggerakkan kepala, melihat padanya. Bangunlah, Dios! Cepat lari!
Kayla terperangah ketika Dios tersenyum padanya. Senyum terindah yang pernah dilihatnya… Dios berusaha untuk mengatakan sesuatu, dan Kayla merasa seperti tersiram air es yang dingin ketika berhasil membaca gerak bibirnya.
“Maafkan aku…”
Mereka saling berpandangan. Jelas sudah bagi Kayla makna kata-kata Dios. Dios sudah tidak bisa bangkit lagi, dan berminat mengikuti Kid dan Dainty (Mereka sudah mati). Kayla merasakan air mata bergulir di pipinya, tetapi ia tidak mampu menghapusnya. Ia tidak mau kehilangan Dios! Kalau Dios pergi, ia harus ikut bersamanya…!
Tanpa berpikir lagi, Kayla berlari kea rah Dios. Ia tidak peduli pandangan mencegah Dios maupun bola api Mario yang sudah meluncur deras. Ia tidak peduli apa pun. Ia hanya mengikuti kata hatinya, dan hatinya ingin terus bersama Dios…!
Kristal di dahi Kayla bersinar terang ketika ia menjatuhkan diri. Bersamaan dengan itu, di sekeliling mereka terbentuk kubah cahaya yang memantulkan bola api Mario begitu menyentuhnya sehingga berbalik kea rah pengirimmnya!
Terlalu terkejut apa yang terjadi, Mario tidak dapa menghindari bola apinya sendiri. Diiringi dentuman keras, bola api itu meledak, menimbulkan cahaya yang menyilaukan mata dan gelombang udara yang berembus keras di sekitar tempat itu.
Teriakan Mario masih sempat terdengar…, kemudian…, senyap. Gumpalan debu dan embusan angin mereda setelah beberapa saat.
“Kayla…”
Kayla mengangkat kepala, melihat Dios yang memandangnya.
“Sudah berakhir. Kau bisa tenang sekarang.”
Kayla langsung menangis. Sungguh aneh, ia menangis sekaligus tertawwa. Senang, sedih, lega, semua berbaur jadi satu. Tubuh Mario tergeletak tak berdaya, menghitam dan jelas tidak akan bisa bangkit kembali. Mereka berhasil!
“Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi…,” bisik Kayla di tengah isaknya.
“Rupanya, Kristal di dahimu ini menciptakan tabir pelindung untuk kita,” sahut Dios. “Aku melihatnya bersinar tadi.”
“Benarkah? Aku sama sekali tidak menyadarinya….”
“Kristalmu ini benar-benar hebat.ia bahkan melindungi kita!”
Kata-Kata Dios membuat Kayla teringat sesuatu. Ditatapnya Dios lekat-lekat.
“Dios…, ingatkah kau yang dikatakan Nenek Luina dulu? Bahwa Kristal ini adalah Kristal pencucui ingatan?” tanyanya cemas.
Dios mengingat-ingat sejenak.
“Iya, aku ingat. Memangnya kenapa?”
“Nenek bilang, sihirnya akan patah kalau penyihirnya mati. Tetapi, mengapa setelah Mario mati aku tetap tidak ingat apa-apa?”
Dios terperangah.
“Kau benar…,” katanya lambat-lambat. “Apakah ini berarti Mario masih…—“
Serentak, Kayla dan Dios menoleh kea rah Mario yang masih tergolek, takut kalau tiba-tiba tubuh yang sudah hitam itu bangun lagi.
“Itu karena bukan Mario yang menyihirmu.”
Sebuah suara, dingindan dalam, terdengar, “… Melainkan aku.”
Seorang wanita berambut pirang, dengan sebuah tongkat kayu di tangannya, berdiri dalam bayangan sebuah pohon. Dios mengenali suaranya sebagai orang yang menghilang ketika mereka dikepung si Tinggi Besar dan teman-temannya. Wanita ini maju beberapa langkah, sehingga sosoknya lebih jelas terlihat sekarang. Jubahnya melambai seiring langkahnya.
Melihatnya, Mio langsung menyerbu, seakan ia punya suatu dendampada wanita ini. Tetapi dengan satu kibasan lengannya, Mio terpental mundur.
“Siapa kau?” Tanya Kayla, terkejut akan munculnya musuh baru ini.
“Rupanya kau sudah lupa padaku,” sahut wanita itu, kemudian menambahkan dengan manis, “Ah, tentu saja! Aku baru ungat kalau aku telah mencucui ingatanmu. Namaku Erica.”
“Apa maumu?” Tanya Dios wapada.
“Mauku? Tentu saja kekuatan Amigdala! Tidakkah itu jelas? Hatus kuakui, aku tidak mengira kalian bisa sejauh ini.”
Erica melirik tubuh Mario dengan pandangan jijik. “Bahkan dengan kekuatan Amigdalus ditangannya, dia tidak mampu mengatasi alian. Dasar bodoh!”
“Kalau begitu, kau oasti Karpathian yang membantunya membebaskan diri!” teriak Kayla, teringat yang dikatakan Mario di Gunung Ner (Gunung dimana Mario bangkit).
Erica menoleh padanya.
“Membantunya?” ejeknya. “Itu ‘kan menurut dia. Yang sebenarnya, aku memperalatnya untuk mendapatkan kekuatan Amigdalus. Si bodoh ini mengira aku membantunya. Ck!”
“Tidak mungkin!” kata Dios. “Bagaimana kau bisa memperalatnya?”
“Kelihatannya aku harus menceritakan semua kepada kalian agar kaian tidak mati penasaran nanti,” sahut Erica cepat. “Baiklah. Semua ini berawal dari ketika aku kan menyucikan tongkstku di Gunung Ner. Aku melihat seorang terkurung dalam sebuah Kristal, dan berkat kekuatanku aku bisa berkomunikasi dengannya. Ia berkata bahwa ia adalah calon Amigdalus, yang membuatku sangat tertarik mendengarnya karena aku menginginkan kekuatan legendaries itu untuk menjadi penyihir terkuat sepanjang masa!”
Kayla bergidik. Wanita itu menakutkan. Tidak hanya penampilannya, bahkan cara berpikir dan ambisinya.
Erica melanjutkan ceritanya. “Masalahnya, yang bisa membangkitkan kekuatan Amigdala hanya seorang laku-lakimaka aku memutuskan untuk memakai Mario. Yang mengurungnya adalah Kristal Zauri, maka yang kubutuhkan adalah Kristal yang kekuatannya sebending, yaitu pecahan Kristal Zauri yang dulu hilang, yang kukuetahui ada padamu.”
“Aku?” tanpa sadar Kayla menunjuk dirinya sendiri.
“Betul.tapi, kau berhasil menetahuinya. Rencanaku yang seharusnya rahasia itu! Karena itulah, kukunci ingatanmu, kubungkam temanmu itu.”
Erica menggoyangkan kepala ke arah Mio yang meronta marah ingin bebas dari genggaman Kayla. “Lalu kukirim Kalian kesini. Tanpa kusadari, kau membawa serta benda yang sangat kuperlukan itu! Pecahan Kristal Zauri telah menyatu dengan kristal pencucui ingatan yang telah ku buat, dank au membawanya kemana-mana selama ini! Karena itulah kukejar kau sampai kesini.
“Tapi, kemudian keberuntungan menaungiku. Kau malah berjumpa dengan adik Mario, yang sedang mencari kakaknya yang hilang, lalu kalian justru mendatangi Gunung Ner. Kebetulan yang menyenangkan! Benda yang kucari-cari setengah mati,ternyata malah datang sendiri ke tempat tujuan!”
Kata-kata Erica menjelaskan semua pertanyaan tentang Kristal didahi Kayla. Pantas saja Kristal pengurung Mario langsung hancur begitu Kayla menyentuhnya. Kayla jadi mengerti bagaimana ia bisa menerbangkan fusan tanpa kristal. Lalu, bola api yang terpantul. Rasanya, tinggal satu misteri yang belum terpecahkan.
Kayla nekat berdiri, lalu berseru, “Katakan, siapa aku sebenarnya!”
Erica tersenyum tipis.
“Justru di sinilah bagian yang menyenangkan. Kau sudah merepotkan aku sejauh ini. Memangnya, aku mau memberitahukannya begitu saja padamu?!”
Erica maju beberapa langkah, kemudian memandang dingin pada Kayla dan berkata, “Bagaimana jika kau mati tanpa mengetahui siapa dirimu sebenarnya?”
Kayla tidak menjawab.
Dios berdiri, lalu berkata, “Kau tidak bisa melakukan itu!”
“Siapa bilang?” bentak Erica marah. “aku tohsudah menghabisi nenek tua itu, tak banyak bedanya kalau kutambah satu lagi!”
Mendengar ini, baik Dios, Kayla, Maupin Mio terdiam. Sesaat kemudian, ketiganya sudah dialiri gelombang amarah terhadap Erica.
“UNTUK APA KAU MELAKUKANNYA?” raung Dios murka. “Dia cuma seorang Nenek!”
“Pertama, karena dia tak mau mengatakan kemana kalian pergi,” jawab Erica tersenyum senang. “Tapi, terutama karena aku ingin menciptakan teror di antara kalian!”
“Kau…!”
Dios mengayunkan pedangnya, tetap ia langsung terhuyung kehabisan tenaga. Setidaknya, satu sabit perak mungil muncul, melunur deas kea rah Erica. Tanpa diduga, Erica mengangkat tangannya, membentuk sebuah perisai yang melindunginya. Sabit perak itu memantul mengenai sebuah batu besar yang langsung hancur berkeping-keping.
Celaka! Bahkan sabit perak pun dapat ditangkis oleh wanita mengerikan itu! Padahal, Dios sudah kehabisan energi, dan Kayla tahu dirinya sendiri tidak bisa diharapkan. Bagaimana caranya bisa lolos dari Erica?
“Tindakan bodoh! Bagaimana kalau kukirim serangan balasan?”
Erica mengibaskan tongkatnya. Dios langsung terempas kebelakang, sementara Mio terlempar dan tergeletak di tanah tak bergerak. Ketika akhirnya ia mendongak, Kayla melihat darah menetes dari sudut bibir Dios.
“Dios!” jeritnya, lalu memburu kea rah Dios. Tetapi, Erica kebih cepat. Tiba-tiba saja, seolah diikat tali yang tidak terlihat, Kayla melayang kaku di atas tanah dengan tangan terbentang lebar, tak bisa bergerak sama sekali.
Dios bangkit hendak menolong, tetapi kemudian ia diserang batuk-batuk hebat, lalu memuntahkan darah ke tanah. Rupanya, serangan Erica tadi—entah bagaimana—telah menyeran organ bagian dalam tubuhnya. Kayla dengan pilu menyaksikan bagimana Dios berjuang keras menghentikan batuhnya, kemudian telentang dengan napas terengah, sementara ia hanya bisa diam menonton.
“Baik,” terdengar suara dingin Erica dari belakang Kayla. “Sekaang giliranmu!”
Detik berikutnya, Kayla menjerit sekuatnya karena rasa nyeri yang amat sangat. Sulit digambarkan bagaimana rasanya, tetapi sepertinya setiap tetes darahnya memberontak dan inin mendobrak pori-pori kulitnya. Setengah dirinya ingin bertahan, tapi separuhnya lagi sudah tidak tahan. Ia sudah lelah. Hatinya terpecah ketika kehilangan Kid, kemudian Dainty, dan tak sanggup lagi melihat penderitaan Dios, yang samar-samar dilihatnya sedang mengawasinya dngan cemas dalam usahanya untuk bangkit, sambil meneriakkan sesuatu yang tak bisa didengarnya. Ketika siksaan itu berakhir, ia merasakan tubuhnya melunglai ke tanah. Untuk sesaat pandangannya menjadi buram.
“Kayla!”
Kayla mendengar Dios berteriak, merasakan bahunya diguncang, lalu dengan susah payah ia membuka matanya. Ia melihat dua buah bola mata hitam itu, yang biasanya menatapnya dingin, kini menyiratkan satu hal” kekhawatiran.
“Syukurlah,” bisik Dios lega. “Kau masi hidup.”
Menyadari hal ini tidak akan bertahan lama, Kayla berkata lirih, “Sudahlah, Dios”
Dios terdiam, heran.
“Tak mengapa ingatanku tak kembali. Aku telah berjumpa denganmu…, dan itu adalah kenangan terbaik yang pernah kuinginkan…,”
Dios tidak menjawab. Tetapi, sorot matanya memancarkan sejuta makna, yang semuanya telah dipahami Kayla, dan ia bahagia karenanya.
“Cukup!” Aku sudah terlalu lama menunggu!”
Erica mengarahkan tongkatnya pada Mario,merapa sesuatu. Dari tubuh Mario kemudian keluar sinar-sinar seperti jarum, meluncur kke atas, kemudian mengarah dan masuk ke dalam tubuh Erica. Setelah beberapa saat, hujan sinar itu berhenti dan Eruca mulai memancarkan pendar yang sama dngan Mario ketika ia masih hidup. Menyadari kekuatan Maio—kekuatan Amigdala—telah pindah kepadanya, Erica tertawa terbahak-nahak.
Suara tawa Erica membuat Kayla pening. Tetapi, ia tahu, begitu Ericaberhenti tertawa, harapan mereka pupus sudah. Kayla tahu Dios belum ingin menyerah. Tetapi, dengan kekuatannya sendiri pun Erica sudah sangat hebat, apalagi jia digabung dengan kekuatan Mario. Benteng pertahanan mereka pun hamper runtuh. Yang tersisa sekarang hanyalah menunggu datangnya keajaiban. Mungkin Kristal Zauri, yang kekuatannya tidak bisa ia kontrol, mau melakukan sesuatu sekali lagi. Kemungkinannya amat kecil….
Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Tawa Erica tica-tiba terhenti, kemudia ia terdiam membeliak keheranan. Beberapa saat kemudian, ia meronta-ronta sambil mengumandangkan teriakan kasakitan, membuat ngeri siapa pun yang mendengarnya.
“A…—apa yang terjadi padanya? Tanya Kayla bingng.
Dios menatap Erica yang wajahnya aneh dan mengerikan, lalu menjewab, “dia sendiri yang mengatakan tadi, pewaris Amigdala haruslah seorang laki-laki. Inilah yang terjadi kalau seorang wanita menyerap kakuatan itu.”
Sinar-sinar hitam yang tadi masuk ke tubuh Erica keluar lagi, lalu melesat menuju pedang Godard, perisai Elgamb, sarung tangan Menasphius.
Erica jatuh berdebam dengan mata terbuka lebar.
Ia sudah mati!
Bersamaan dengan itu, tubuh Mio membesar, berubah menjadi manusia: seorang gadi berambut hitam yang meringkuk di antara rerumputan.
Kayla menjerit sekali lagi karena Kristal di dahinya terasa panas menyengat, lalu jatuh terlepas begitu saja. Selama beberapa saat ia terengah, menatap nanar ke arah langit yang kini penuh bintang karena pilar merah itu telah lenyap dalam sekejap. Akhirnya….
Kayla menatap Dios yang masih memeganginya, lalu berkata, “Dios, aku ingat namaku/1 aku ingat semuanya…”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kayla merasakan pandangannya menjadi gelap dan kesadarannya hilang.
Dios berusaha menyadarkan Kayla. “Kayla. Ayo bangun! Bukalah matamu! Kayla…m atau siapapun namamu…”
“Namanya Regia Vien al Tribiald”
Dios mendongak, melihat Zen telah tiba di situ, menutupi tubuh Mio yang sudah menjadi manusia kembali dengan mantelnya, lalu berjalan menghampiri Dios dan Kayla. Wajah Zen datar, tidak menyiratkan apa pun.
Merasa heran, Dios mengajukan pertanyaan.
“Darimana kau tahu?”
Zen diam sesaat sebelum menjawab.
“Karena dia adalah tunanganku. Aku ingin kau pergi darinya.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar