" Jangan cm berandai-andai/membayangkan sesuatu yg bhkn terlihat mustahil olehmu, lakukanlah, mgkn apa yg akan km lakukan itu akan berakhir bahagia. tdk ada slhnya mencoba. dan jgn takut mencoba sesuatu yg baru"

Sabtu, 05 Mei 2012

Favorite Part of "Zauri" #2

Ini juga salah satu bagian dari beberapa bagian yang aku suka dari Novel Zauri karya Dian K. Disini Dios terluka parah karena perkelahiannya di istana Elgamb untuk mendapatkan sebuah perisai guna menemukan kakaknya yang hilang.

BAB 6—DESA EMIT—

Mereka—Kayla, Mio, Dios, Kid, Dainty, ‘Kayla’ (Mayorka), dan ‘Mio’ (Bruno)—mendarat di sebuah pondok tua yang hampir hancur, di luar Kota Arian. Luka-luka Dios cukup banyak, dan walaupun telah mereka rawat sebisanya beberapa luka masih terbuka dan meneteskan darah.
    Dios diangkat dari dalam fusan, lalu dibaringkan di dalam satu-satunya kamar yang masih beratap, diam tak sadarkan diri. Dainty sangat panik, mandorong Kayla dan membersihkan darah Dios.
    “Dios! Ya ampun...., banyak sekali lukamu!”
    Kayla berdiri, menyekap mulutnya, amat syok melihat luka-luka Dios. Mio terbang diatas bahu Dios, memandangi wajah Dios yang pucat.
    “Kid, celaka! Lihat luka di bahu ini!” Dainty membuka baju Dios untuk melihat lukanya,
    “Astaga!” seru Kid terkejut. “Pedang si Pangeran pasti mengandung racun!”
    Luka di bahu Dios telah berubah kehijauan. Bahunya sekarang bengkak.
    Kayla merasa bersalah. Kalau saja ia tad tidak memanggil Dios, Dios tak akan mungkin lengah dan  tak mungkin tertebas.
    “Seandainya tanduk arugis itu tidak dibawa si Menucci....”
    “Kid!” kata Dainty tiba-tiba. “Aku punya phoabia, kutanam dalam pot di kamarku. Tak sebagus kalau pakai arugis, tapi...—“
    “Ayo, kata ambil! Phoabia mestinya bisa mengeringkan lukanya.”
    Dainty pergi ke luar. Kid berpaling pada Kayla.
    “Kayla, jaga Dios, ya. Kami akan ke Arian mengambil obat.”
    Kayla menganguuk. “Baik. Cepat, ya, Kid.”
    Kid melesat ke luar. Terdengar pertengkaran antara Dainty dan ‘Kayla’—Mayorka. Rupanya si pemilik fusan tidak sudi mengantar mereka ke Arian. Tetapi, tak lama pertengkaran itu selesai. Kayla menduga Kid telah mengeluarkan belatinya. Didengarnya fusan itu pergi dengan berisik desertai jeritan ‘Aduh!’, ‘Awas!’ dan suara dahan-dahan patah.
    Kayla berlutut di samping Dios. Wajah Dios pucat dan berkeringat. Dia mulai mengigau. Kayla menyentuh kenngnya dengan cemas.
    “Mio...., dia panas sekali! Apa yanng harus aku lakukan?” tanyanya hampir menangis.
    Mio melihat sekeliling. Ruangan itu kosong, hanya ada sisa-sisa kayu kering di sudut. Kemudian, ia masuk ke dalam tas yang di tinggalan Kid, lalu keluar dengan membawa secarik kain. Mio menunujuk Kayla, lalu menunjukk lantai.
    “Maksudmu..., kau mau pergi? Kau mau aku menunggu?”
    Mio mengangguk.
    “Baiklah. Hati-hati, ya!”
    Mio terbang keluar dengan carikan kain tergantung di tangannya.
    Dios mengerang pelan.”Dios..., kau bisa mendengarku?”
    Dios tidak menjawab. Demamnya semakin tinggi. Kayla mulai menangis.
    “Maaf, Dios,” isaknya. “ini semua salahku.”
    Kayla menyeka pipinya, tetapi air matanya tidak mau berhenti bergulir. Ia berusaha berhenti menangis karena ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk meredakan demam Dios.
    TiBa-tiba, tangan Dios bergerak dan memegang tangan Kayla.
    Kayla terlonjak kaget. “Dios! Kau...—kau sadar...?”
    “Jangan menangis,” kata Dios lirih. “Bukan salahmu.”
    “Bagaimana keadaanmu?”
    “Kepalaku... sakit,” jawab Dios sambil memejamkan mata.
    “Kau demam. Dainty dan Kid sedang mengambil obat. Dios...? Dios...!”
    Tetapi, Dios diam saja, membuat Kayla terisak lagi.
    “Sudah kubilang..., jangan menangis!” kata Dios tiba-tiba, manatap Kayla dengan kesal.
    “Habis, kau diam saja. Aku takut kau...—“
    Dios mendengus.
    “Aku tak akan mati sekarang, jika itu yang kau pikirkan! Aku tak mau kau menangis. Tangisanmu membuatku lemah.”
    Kayla tak tahu harus membuat apa. Kata-kata Dios membuatnya lebih tegar, sekaliguss... senang, atau apapun itu, ia tak bisa menjelaskan apa namanya. Hatinya tersa hangat. Kayla berhenti menangis dan mereka tak bicara apa-apa lagi. Tetapi, jemari Dios menggenggam tangannya begitu erat, sampai terasa sakit.
    Mereka terdiam cukup lama. Mio muncul dengan kain yang sudah basah diletakkannya kain itu dikening Dios.
    Terdengar derap langkah mohaz di luar pondok. Tak lama kemudian, Kid dan Dainty masuk, membawa sebuah tanaman perdu kuus pendek yang baru di cabut dari tanah. Warnanya hijau kebiru-biruan, berdaun mungil bergerombol, membentuk gumpalan yang tersebar diantara rantingnya.
    “Bagaimana Dios?” tanya Dainty, sementara Kid menghaluskan tanaman itu dengan alat penumbuk.
    “Masih demam,” jawab Kayla.
    “Apa dia sadar?”
    “Tadi bicara sedikit.”
    “Apa katanya?”
    “Dia menyuruhku...—eh..., katanya..., kepalanya sakit.”
    Kid menghampiri mereka. Lalu, terdiam melihat tangan Dios.
    “Apa?” tanya Kayla.
    “Sampai kapan kau akan memeganginya?” tanya Dainty, cemberut.
    Kayla tersadar, mukanya memerah. “Oh!” katanya, lalu berdiri, tetapi tak bisa karena tertahan Dios.
    “Dios, Kid akan mengobatimu. Lepaskan aku.”
    Tetapi, Dios tidak melepaskannya. Maka Kid menyuruh Dainty minggir sedikit dan menempati tempatnya. Tanaman Phoabia yang telah dihaluskan itu dilumurkan pada luka dibahunya, kemudian dibalut dengan kain yang bersih. Sisa ramuan itu dioleskan pada luka-luka yang lain. Dainty memasang wajah masam.
    Kid membereskan barang-barang mereka. “Kita harus segera pergi dari sini.”
    Kayla terperangah. “Kenapa?”
    “Mereka mencari Dios. Para pengawal itu!” Dainty berkata dengan nada menyalahkan.
Kayla lagi-lagi disergap rasa bersalah.
    “... penyusup yang nyaris membunuh Putra Mahkota.”
    “Anehnya, mereka juga mencarimu,” kata Kid pada Kayla, sambil menari Dios dan berusaha membuatnya tegak. Ini susah karena Dios sangat jakung, jauh lebih tinggi darinya.
    “Apa?!”
    “Kurasa..., yang ini salahku,” kata Kid meringis, meminta maaf. “Aku meneriakimu waktu kita nyaris menabrak benteng. Mereka pasti mendengarnya.”
    “Lalu, kita mau ke mana?” Kayla yang masih bingung bertanya.
    “Desa Emit,” gumam Dios pelan. Rupanya ia tersadar dan menyimak pembicaraan mereka. Wajah Kid berubah cerah.
    “Betul! Nenek Luina pasti membantu kita!” katanya, lalu menaikkan Dios ke atas kereta.
    Untunglah Dios sudah sadar sehingga walau tertatih ia masih bisa naik sendiri. Duduk dibelakang, , Dios menyernyit menahan sakit sementara Dainty menyelimutinya.
    Kayla duduk disebelah Kid yang langsung memacu mohaz begitu mereka duduk. Dios masih terlihat parah, walau luka dibahunya berangsur mengering. Mio duduk di bahu yang satu lagi.
    “Apa yang terjadi pada ‘Kayla’ yang asli?” tanya Kayla.
    “Apa?” sela Dainty kaget. “Jadi yang palsu itu justru kau?”
    Kayla mengangguk. “Ceritanya panjang. Lain kali saja aku cerita.”
    “Si Hitam itu menolak mentah-mentah mengantarkan kami ke Arian. Tapi, persis seperti yang kubilang, dia itu pecundang. Baru sebagian belatiku terhunus, sudah ribut minta ampun. Lalu kami pergi ke tempat Dainty dulu mengambil Phoabia,” jelas Kid.
    “Aku menitipkan rumah minumku pada pada pelayanku karena akan ikut kalian,” sambung Dainty.
    “Kemudian, kami pergi ke penginapan. Pada saat itulah kami mendengar ribut-ribut tentara Elgamb menggeledah rumah-rumah. Begitu kami turun dari fusan, si Hitam itu langsung kabur.”
    “Untung Kid sangat cekatan. ia langsung mengambil semua barang kalian dan kami menyelinap dengan kereta ini sebelum mereka tiba,” kata Dainty.
    Kid terlihat salah tingkah mendengar pujiannya.
    “Tak apa-apakah kautinggalkan rumah minummu, Dainty?” tanya Kayla.
    Dainty mengankat bahu. “Toh cepat atau lambat para pengawal itu akan mencariku juga karena kita berteman.”
    Matahari mulai terbit di ufuk. Perlahan namun pasti, cahayanya mengusir kegelapan malam. Kid membawa mohaz melewati jalan yang rimbun oleh pepohonan. Seekor muphy melompat menghindarketika nyaris tergilas roda kereta di tikungan.
    “Kid...” Kayla menatap Kid. “Sebenarnya, apa yang dicari Dios dari perisai itu? Kanapa begitu penting baginya?”
    Kid tidak langsung menjawab. Ia melirik Dios yang rupanya tertidur. “Itu..., harus kau tanyakan sendiri padanya, Kayla.”
    “Sudah pernah kutanya,” kata Dainty. “Ia tak mau menjelaskan.”
    “Nanti juga kalihan tahu.”
    “Kau seperti Dios saja! Selalu menjawab dengan singkat, seperti kehabisan kata-kata,” gerutu Dainty. “Dan..., demamnya tak mau hilang! Apakah desa itu masih jauh? Aku harus merawatnya!”
    Kid berusaha memacu mohas secepat ia bisa. Menjelang tengah hari mereka tiba di Desa Emit. Desa itu terasa amat tenang, tersembunyi dibalik hutan kecil, dengan sungai jernih mengalir membelah desa. Rumah-rumah terpisah jauh satu sama lain, suasananya sepi. Tampaknya penduduknya bercocok tanam atau berburu.
    Kid menghentikan mohaz di depan rumah yang paling ujung, yang berdiri tegak di tepi sungai. Berdua Dainty, ia memapah Dios masuk. Seorang nenek bertubuh mungil menyonsong dari dalam rumah.
    “Dios! Ya ampun, apa yang terjadi?” teriaknya, tergopoh-gopoh menghampiri. Dibawanya mereka masuk ke dalam kamar. Setelah Dios terbaring diatas tempat tidur, si nenek berpaling pada Kayla dan Dainty.
    “Sebaiknya, kalian keluar dulu.”
    “Tidak, Nek, aku ingin tetap disini,” sahut Dainty keras kepala.
    “Aku harus membuka bajunya,” kata Nenek sambil tersenyum.
    Kayla dan Dainty berpandangan. Akhirnya, mereka keluar.
    Butuh waktu lama bagi si Nenek untuk melakukan entah apa pada Dios. Kayla menunggu dengan gelisah. Mereka lama diperjalanan. Apakah racunnya sudah menyebar? Apakah sudah terlambat untuk menolongnya?
    Ketika Dainty mulai tertidur di kursi, pintu kamar membuka. Kid keluar membawa setumpuk kain berlumuran darah, mengacungkan ibu jaru, kemudian berjalan menuju pintu lain. Nenek keluar, kelihatan letih tetapi tersenyum puas.
                                                           *    *    *
   “Dios sudah ku anggap cucuku sendiri. Aku tak punya keluarga lagi dan begitupun dia,” kata Nenek Luina.
    Mereka duduk di teras belakang yang menghadap ke sungai. Pemandangan di depan mereka amat indah. Rupanya mereka di atas bukit sehingga pemandangan yang terlihat amatlah luas. Mereka duduk di lantai dengan nyaman.
    “Dahulu keluarganya tinggal di sini.”
    “Di sini, Nek?” kata Dainty antusias.
    “Betul, Nak. Lihat rumah di lembah itu?” nenek menunjuk rumah di kejauhan. “Itu adalah rumahnya. Mereka hidup bahagia—Dios, ayah-ibunya, dan kakak laki-lakinya.”
    Ternyata Dios punya keluarga. Ia tak pernah menceritakan apa pun mengenai mereka.
    “Ayahnya adalah petarung yang tangguh. Yah..., kalian bisa melihat sendiri kemampuan Dios. Semua bakat ayahnya menurun padanya, kukira. Ibunya wanita sederhana yang tidak banyak bicara.”
    Nenek menghirup sari bunga rasmea-nya. Minuman dalam gelasnya masih terlalu panas, maka setelah meminumny sedikit diletakannya helas itu di lantai, lalu meneruskan cerita.
    “Setiap hari, Dios dan kakaknya, Mario, belajar bertarung. Juno, ayah mereka, mengajarkan semua yang ia kuasai,. Suamiku, Dominggo, adalah sahabat baik Juno. Maka mereka berdua mendidik kedua anak itu.
    “Mario jauh lebih tua daripada Dios, sekitar sepuluh tahun mereka jarak usia mereka. Ketika umurnya delapan belas tahun, ia sudah menjadi pengawal Istana Elgamb yang gagah. Kuakui gamblengan Juno membuahkan hasil yang baik. Hanya dalam waktu singkat, Mario diangkat menjadi panglima. Ketika umurnya dua puluh tahun, Mario kembali untuk menikah dengan Felia.”
    “Siapa Felia?” tanya Dainty.
    “Dia gadi desa ini..., yatim piatu. Gadis yang amat cantik, seingatku. Namun, sayang, mereka tidak jadi menikah...”
    “Kenapa?”
    “Felia ditemukan mati di rumahnya. Hanya sehari setelah Mario pulang. Dari tubuhnya, diketahui ia dibunuh orang. Inilah awal dari semuanya.”
    Kid, Dainty, dan Kayla saling berpandangan.
    “Mario amat terpukul. Ia kembali ke ibukota segera setelah pemakaman, dan lama kami tak melihatnya. Akhirnya, ketika Dios berusia dua belas tahun, Mario pulang. Tapi kepulangannya membuahkan bencana. Suatu hari penduduk desa melihat mario dan Juno, bersenjata lengkap, pergi entah kemana. Dios yang baru pulang berlatih bersama suamiku, pulang mendapati ibunya sedang sekarat. Wanita malang itu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan suamiku. Anehnya, sama sekali tak ada bekas luka di tubuhnya...”
    “Lalu..., bagaimana ia bisa meninggal?” tanya Kayla ngeri.
    “Tak ada yang tahu, Nak..., tak ada yang tahu... Kasihan Dios. Ibunya meninggal..., ayah dan kakaknya pergi, tapi hanya sang ayah yang kembali. Juno kembal dengan luka yang amat parah. Bagaimana ia bisa sampai di sini, aku sama sekali tidak mengerti. Namun, hidupnya pun tak lama. Hanya beberapa saat setelah ia memeluk Dios kecil, yang menangis, ia meninggal.”
    Nenek Luina menghela napas panjang.
    “Juno tak sempat meninggalkan pesan apa pun. Ia hanya menyerahkan dua belah pedang pada Dios. Yang satu adalah pedangnya sendiri, Endymion, yang sekarang digunakan Dios. Pedang yang satu lagi, berlumuran darah, kami kenali sebagai pedang Mario karena tandanya. Tanda naga melingkar.”
    “Sejak itu, Dios tinggal bersama kami. Dominggo melatihnya setiap hari dan kami bangga pada kemajuannya. Tapi, ia tumbuh menjadi pemuda yang pendiam. Ia sering ke rumah orang tuanya, atau menyambangi makamnya. Aku tahu ia pasti selalu bertanya-tanya tentang kematian orang tuanya yang misterius.
    “Kemudian suamiku meninggal. Bukan, bukan dibunuh,. Hanya usia tua,” Nenek tersenyum pada Kayla dan Dainty. “Aku menyadari, akupun sudah tua. Mungkin umurku sudah tak lama lagi. karena tak tega memikirkan Dios hidup sendiri, ku suruh ia mencari jejak kakaknya. Aku yakin Mario masih hidup, di suatu tempat. Satu-satunya petunjuk adalah pedang dengan tanda naga melingkar itu.
    “Maka, Dios berkelana mencari petunjuk. Dan akhirnya ia menemukan petunjuk kedua, sebuah sarung tangan. Kami semakin yakin bahwa kami berada di jalan yang benar.”
    “Kami menemuka petunjuk ketiga, Nek!” kata Kid bersemangat. “Sebuah perisai!”
    “Kita akan lihat setelah Dios bangun nanti,” kata Nenek tersenyum, lalu berpaling pada Kayla. “Ada sesuatu yang ingin kuketahui.”
    Nenek kemudian menatap Kayla begitu tajam sampai Kayla merasa seperti akan meleleh. Duduknya  pun jadi gelisah.
    “Nak,” kata Nenek lembut. “Aku yakin, kau hilang ingatan.”
    Ketiga orang yang mengelilinginya terperangah dengan alasan yang berbeda-beda.
    “Kayla hilang ingatan?” seru Dainty kaget.
    “Aku..., ng...—“
    “Darimana Nenek tahu? Aku ‘kan belum bilang pada Nenek!”
    Nenek meraba kristal di kening Kayla. “Ini, bukan kristal biasa. Ini adalah kristal pencuci ingatan. Kau telah dikutuk oleh seorang penyihir yang kuat agar tidak bisa mengingat apa-apa”
    “Pencuci... ingatan?”
    “Betul, Nak”
    Jadi ada yang mengunci ingatannya. Siapa...? Dan mengapa? Sesuatu berkelebat dalam pikiran Kayla.
    “Nenek, kalau ini adalah kunci, apakah ada cara untuk membukanya?”
    “Tentu saja ada.”
    Wajah Kid cerah. “Bagaimana caranya, Nek?”
    Nenek menggeleng kepala. “Sayang sekali..., ini adalah sihir tingkat tinggi, tak mudah dihancurkan. Kita harus mematahkan ilmunya.”
    “Memetahkan...—“ Kid tercenung. “Maksud Nenek...?”
    “Membunuh penyihirnya.”
    Secercah harapan yang timbul di hati Kayla meredup lagi.
    “Nah!” Kid yang belum menyadari pokok permasalahan, masih bersemangat. “Setelah kita tahu ada cara untuk mengembalikan ingatan Kayla, kita beisa bertindak, ‘kan?”
    “Ini sulit, Kid,” kata Kayla muram.
    “Sulit apanya? Kita bsa mencarinya, ‘kan?” aku dan Dios toh bisa berburu! Mencari sesuatu adalah keahlian kami! Tenang saja!”
    “Tapi siapa yang menyihirnya?” tandas Dainty memadamkan api semangat yang dikobarkan Kid. “Apa kau akan mengetu pintu setiap rumah di Elgamb, menanyai setiap orang apakah mereka menyihir Kayla?”
    “Oh.”
    Dainty benar. Mencari orang yang menyihir Kayla jauh lebih sulit daripada mencari kakak Dios. Setidaknya, Mario meninggalkan petunjuk.
    “Seandainya kristal Zauri masih ada, kata Nenek menerawang. Tiga pasang mata menatapnya.
    “Apa itu, kristal Zauri...?” tanya Kid.
    “Dahulu, negeri Elgamb memilik sebuah kristal yang amat istimewa. Biasanya, sebuah kristal membutuhkan kekuatan seorang karpatihan     untuk membangkitkan kemampuannya. Kalian mengetahuinya, bukan? Seperti misalnya kristal fusan,” kata Nenek. “Tetapi lain halnya dengan kirstal Zauri. Ia memiliki kekuatannya sendiri. Bahkan, ia mampu membuat orang biasa menjadi me-miliki kekuatan gaib. Juga, sangat ampuh mematahkan sihir atau kutukan.
    “Konon, sejak dahulu kristal Zauri diperebukan orang. Suatu ketika, kristal ini pecah menjadi dua karena pertarungan dua orang karpatihan. Pecahan yang lebih kecil hilang entah ke mana. Sedangkan pecahan yang lain dibawa pulang ke Elgamb. Raja Eluan XIV, yaitu ayah dari raja sekarang, menyimpannya dengan hati-hati. Dan, pada saatnya kristal itu menunjukkan keajaiban.
    “Ketika terjadi pemberontakan, pasukan Elgamb yang mengalami kekalahan mundur ke Arian. Hanya masalah waktu saja sebelum pasukan pemberontak mengambil alih istana. Dalam keadaan istana terkepung pasukan musuh, Raja Eluan XIV mengeluarkan kristal Zauri dari kotaknya... Dan, kalian tahu apa yang terjadi?”
    “Apa, Nek?” tanya Kid tegang.
    “Tanah di sekeliling istana runtuh secara luar biasa. Semua pasukan musuh ikut terbawa, tanpa ada yang tersisa. Itulah sebabnya Istana Elgamb sekarang melayang di udara. Anehnya, istana dan seluruh isinya tetap utuh!”
    Ketiga orang pendengar setia itu terpana. Gara-gara pernah menyusup, mereka tahu pasti seperti apa jurang di sekitar Istana Elgamb. Kristal Zauri ini ternyata amat dahsyat!
    “Lalu bagaimana mereka membuat jembatan itu?”
    “Hm..., setahuku, diperlukan benyak kekuatan kristal untuk membuatnya tetap kokoh. Ya, benar, kalau kau melihat bagian bawahnya, Nak, kau akan menemukan banyak sekali kristal di sana.?”
    “Kenapa tidak menggunakan kristal Zauri saja?”
    “Mereka tidak bisa menggunakan kristal Zauri karena kristal itu hilang.”
    “Hilang?!” seru Kid, Dainty, dan Kayla bersamaan.
    “Beberapa hari setelah kejadian runtuhnua tanah di sekitar istana, kristal itu hilang dari kotaknya. Dan sampai kini belum ada jejaknya.
    Kid mendesah kecewa. “Sayang sekali.”
    “Kristal itu pasti bisa digunakan untuk membuka kunci ingatanmu, Nak. Tapi, kau tak usah berkecil hati. Kita pasti bisa dapatkan cara untuk menemukan kunci itu,” bujuk Nenek, membelai rambut Kayla dengan lembut.
    Kayla tersenyum pedih. Mungkin memang ia harus pasrah menjalani hidupnya seperti ini, tanpa masa lalu. Tetapi, setidaknya ia punya masa depan. Dan memang lebih baik ia memikirkan masa depannya. Dan, selama kunci ingatannya belum tebuka, ia tak akan mengetahui apa pun tentang masa lalunya.
    “Nah,” kata Nenek kemudian. “Kalian semua istirahatlah. Aku akan pergi sebentar, bersama teman kecilmu ini, kalau boleh...” Nenek memandang Mio.
    “Mio? Tapi..., Nenek mau kemana?” tanya Kayla heran.
    Nenek membalas pertanyaanya dengan senyuman. “Ada yang berbeda dengan teman kecilmu ini. Hanya ingin memastikan, tak kan lama. Nah, apa kau mau ikut?” Nenek bertanya pada Mio.
    Mio tersenyum mengangguk, lalu mengikuti Nenek ke halaman.
    “Hati-hati, ya!” Kayla melambai pada Nenek dan Mio.
    Tak lama, keduanya menghilang di balik pepohonan.
    Kid bangkit dari duduknya. “Terserah kalian mau apa, tapi aku ngantuk dan capek. Aku mau tidur,” katanya sambil menguap, lalu masuk ke dalam.
    “Aku juga.” Kata Dainty.
    Mereka berdua meninggalkan Kayla sendiri di teras, memandangi matahari senja yang menuju peraduannya.
                                                  *    *   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar