" Jangan cm berandai-andai/membayangkan sesuatu yg bhkn terlihat mustahil olehmu, lakukanlah, mgkn apa yg akan km lakukan itu akan berakhir bahagia. tdk ada slhnya mencoba. dan jgn takut mencoba sesuatu yg baru"

Kamis, 31 Mei 2012

Favorite Part of "Zauri" #4

Dibab terakhir  ini di ceritakan bahwa Kayla telah ingat kembali siapa dirinya setelah beberapa peristiwa yang bahkan mempertaruhkan nyawa. Namun setelah Kayla—alias Regia—telah kembali ke istana Tribiald—rumahnya—Dios tiba-tiba menghilang dan Regia tak tahu alasannya mengapa. Belum lagi tentang pernikahannya dengan Zen, laki-laki yang tidak di cintainya....


BAB 17—RANTAI YANG TERPUTUS—ZAURI, Karya Dian K.



“Aku senang kau selamat.”
    “Terima kasih. Aku sangat beruntung, orang itu hanya menusuk perutku, bukan jantungku.”
    “Untung ada Zen di sana.”
    “Iya. Ngomong-ngomong tentang Zen, aku harus minta maaf padamu. Aku tidak tahu dia tunanganmu.”
    Diam sejenak.
    “Waktu itu aku juga tidak tahu.”
    “Dia sangat tampan, kau tahu. Juga sangat baik.”
    “Iya, aku tahu.”
    “Kau masih belum membuka hati untuknya, ya?”
    Regia tidak menjawab. Hanya tersenyum, kemudian melayangkan pandangan ke sekitar. Dainty duduk di tempat tidurnya, kelihatan pucat dan lemah, tetapi ia sudah tenang sekarang dan senang kalau ada yang menjenguknya.
    Sudah tiga minggu sejak kejadian di Gizmoa, Regia tetap tak paam apa yang terjadi setelah kejadian mengerikan itu berakhir. Hal terakhiryang diingatnya sebelum pingsan adalah ingatannya telah kembali, dan hal berikut yang dilihatnya adalah Zen yang duduk di tepi tempat tidurnya di Tribiald. Apa yang terjadi di antara kedua halitu masih teka-teki baginya, karena Zen, saksi satu-satunya yang ada, belum datang lagi ke Tribiald karena harus membersihkan sisa-sisa kerusakan di Elgamb.
    Kelihatannya, semua orang dikedua negeri sudah tahu apa yang dilakukan Erica dan Mario. Bibi Montella hampir kena serangan jantungbegitu mendapati anak asuhnya ada dua, hanya yang satu kaku seperti boneka. Tak ada yang  mengira Regia palsu itu Cuma boneka ciptaan Erica karena secara fisik tiruan ini amat sempurna, kecuali bekas luka dikakinya, tentu saja. Tetapi, karena Regia yang asli sudah kembali, semua rang tenang kembali.
    Satu minggu masa berkabung untuk kematian Raja Eluan XV sudah berlalu. Arta sudah naik tahta. Dan, hal yang paling dihindari Regia selama ini akan segera datang: pernikahannya dengan Zen.
    Untuk yang satu ini, Regia sudah angkat tangan. Baik pihak Elgamb maupun Tribiald bersikeras utuk mempercepat upacara penikahan, apalagi setalah semua yang telah terjadi pada Regia beberapa waktu belakangan ini. Zen tidak ingin kehilangan tunangannya sekali lagi.
    Kedua negeri tetangga ini membereskan semaua kekacauan yang timbul. Istana Elgamb sedang dibangun lagi. Raja Eluan XVI—alias Arta—telah melebur pedang Godard dan perisai Elgamb. Sarung tangan Menasphius sudah dilenyapkan, unuk mencegah kejadian serupa terulang di masa datang.
    Sementara itu, ayah Regia sudah menjebloskan sisa antek-antek Erica ke dalam penjara, termasuk Dayang Sona, terutama untuk tuduhan pembunuhan terhadap Jendral Auber yang mereka singkirkan setelah Regia dikirim Erica ke Gizmoa. Pasukan Erica yang lan ditemukan di Gizmoa, yang ternyata tak sanggup bertahan hidup setelah sihir Erica punah.
    Regia telah meminta Mayorka dan Bruno, yang telah banyak berjasa, untuk pindah ke Tribiald. Mereka sekarang menyewakan fusan di Noran—ibu kota Tribiald—dan sedang berusaha mengurangi jumlah korban yang timbul karena menjadi penumpang fusan mereka.
    Dainty mengambil alih perhatian Regia.
    “Mm..., ada kabar Dios?”
    Regia menggelang. Sejak kejadian di Hutan Gizmoa, Dios seperti menghilang. Zen, satu-satunya yang mengetahui apa yang terjadi, mengatakan Dios pergi begitu saja sesaat setelah Erica tewas. Ini yang membuat Regia tak habis pikir.
    “Maaf.” Kata Dainty lagi, “Aku tak bermaksud...—yah..., bagaimanapun, Dios pernah menjadi bagian dari kita. Kau tahu, aku jatuh hati padanya sejak ia menyelamatkan rumah minumku dari segerombolan pemabuk yang berniat menghancurkannya. Tapi, kemudian aku tahu, Dios tak pernah  berusaha sekuat tenagamemerhatikanku walau aku. Karena ada kau.”
    Regia terperangah mendengar kata-kata Dainty “Maksumu?” tanyanya hati-hati.
    Dinty tersenyum. “Aku sudah menyerah. Dios hanya melihat padamu.”
    “Tapi...”
    “Walaupun kau tidak menyadarinya, hal itu terlihat jelas. Apa itu membuatmu laga?”
“Mungkin. Aku tidak tahu apakah itu ada gunanya sekarang...,” gumam Regia pelan.
    Percakapan mereka terhenti karena ibu Regia masuk ke dalam kamar, diikuti Bibi Montella—yang seperti biasanya sangat rapi—dan Nina, yang mengedip nakal pada Regia dan Dainty. Perubahan tubuh Nina pada mulanya mencengangkan Danity, yang tadinya tidak percaya kalau Nina adalah Mio. Tetapi begitu mereka bercakap-cakap, keraguan Dainty lenyaplah sudah.
    Regia mencium ibunya.
    “Nah, kulihat temanmu semakin sehat,” kata Ratu, tersenyum pada Dainty. “Bagaimana keadaanmu?”
    “Baik sekali, Ratu, terima kasih,” jawab Dainty.
    Ratu berpaling pada Regia. “Sudah ditetapkan, hari An adalah hari terbaik untuk pernikahanmu. Itu berarti lusa.”
    Regia sudah tidak berminat mendengar dan mengatakan apa-apa lagi. Apalagi, kalau topiknya mengenai pernikahannya dengan Zen.
    “Baik, Bu. Aku mau ke teras sekarang,” jawab Regia, lalu berpaling pergi.
    “Apakah ia tidak terlalu muda untuk menikah?” Regia mendengar Bibi Montella bertanya pada ibunya.
    Tanpa menunggu ibunya menjawab, Regia menutup pintu lalu bergegas pergi ke temapt favoritnya sejak kembali ke Tribiald, teras balkon lantai tiga.
    Istana Tribiald dibangun di atas bukit yang tinggi, dan balkon tiga adalah tempat yang paling strategis untuk mendapatkan jangkauan pandang paling luas. Regia bisa melihat sebagian taman istana yang amat luas itu; atau menyaksikan kota yang ceria dengan warna-warni penduduknya; bahkan lebih dari sekali ia melihat fusan Mayorka  menukik-nukik menyeramkan di kejauhan, membuat angkasa menjadi tempat yang berbahaya untuk berjalan-jalan. Regia hanyut dalam launan, sampai Nina menghampirinya.
    “Regia, ada yang ingin menemuimu,” kata Nina.
    Nina hanya berani memanggil nama pada Regia kalau mereka sedang berdua. Kalau tidak, Bibi Montella akan menggantungnya.
    “Lain kali saja. Aku sedang malas bertemu dengan siapapun,” jawab Regia tanpa berpaling.
    “Termasuk aku?” sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar, membuat Regia menoleh tidak percaya. Berdiri dengan tongkat penyangga dan kaki terbebat perban, seseorang yang dikiranya sudah tiada.
    “Kid!” Regia menyongsong dengan wajah berseri-seri. “Kau selamat!”
    “Begitulah,” jawab Kid, masih dengan gayanya yang sok aksi seperti biasa. “Aku harus berlari berputar-putar, mengalahkan beberapa arugis yang mengejarku, lalu ditemukan pasuka Zen dipinggir Gizmoa. Untung saja karena aku sudah kehabisan tenaga! Nyaris saja aku kehilangan kaki-kakiku. Kabar baiknya, aku punya beberapa tanduk arugis dan madi bubaglop sekarang. Aku lagi kaya, nih!”
    “Kenapa baru datang sekarang? Zen juga tidak bilang kau masih hiduo, Kid,” kata Regia terharu.
    “Soalnya, aku baru bertemu Zen dua hari yang lalu! Aku durawat di Bangsal Sakit dua minggu lebih, dan ketika aku bilang aku mau bertemu Zen, semua orang menertawaiku,” jawab Kid kesal. “Karena tidak ada yang percaya aku kenal dengan Zen, aku berteriak-teriak terus sampai Zen turun sendiri ke bangsal. Hah! Puas rasanya melihat tampang orang-orang itu ketika akhirnya Zen mendatangiku!”
    Mereka lantas duduk mengelilingi meja,
    “Tak kusangka kau ternyata Putri Tribiald, Kayla—ah, kurasa aku harus memanggilmu Yang Mulia, ya...,” kata Kid sambil menikmati kue yang ditata cantik dalam piring-piring perak.
    “Wah, jangan! Kau temanku, panggil namaku saja,” jawab Regia. “Lalu, bagaimana kau datang kesini? Kakimu ‘kan masih sakit.”
    “Waktu aku bilang ingin menemuimu, Zen lantas membawaku kemari.”
    “Zen disini?” semangat Regia langsung merosot.
    “Masih bersama ibumu,” kata Kid, lalu menoleh pada Nini. “Jadi, kau Mio, ya? Aneh rasanya, melihat kau sebesar ini.”
    “Namaku Nina,” jawab Nina,tersenyum riang. “Sudah lama kau ingin bicara denganmu, Kid.”
    “Senyummu manis juga,” kata Kid, rupanya isengnya kumat. “Apa kau bilang tadi? Ingin bicara denganku? Nah, aku sudah di sini. Katakan saja, kau ingin memuji kegantenganku, ‘kan?”
        Setelah memandangi Kid dengan hati mendongkol, Nina memutuskan Kid perlu disumpal dengan sepotong kue lagi.
    “Oh, ya, selama ini kau peri kau ‘kan tidak bisa berbicara,” kata Kid beberapa menit kemudian, setelah berhasil menelan kue yang disumpalkan Nina, “Bagaimana rasanya...,—mm, kue ini lezat..—maksudku, kau ‘kan tahu kejadian sebenarnya?”
    “Wah, menyebalkan sekali! Aku satu-satunya yang tahu semua kejadian, tapi sama sekali tak bisa memberitahukannya pada kalian,” sahut Nina kesal. “Padahal aku sudah menjerit-jerit, sampai serak rasanya! Bahasa peri memang lain. Peri-peri itu bisa bicara denganku, tapi mereka pun tak bisa membantu. Erica sialan itu benar-benar cerdik, mengubahku menjadi peri karna peri ‘kan tidak bisa bicara!”
    “Kelihatannya Dios dekat denganmu,” sambung Kid pada Nina.
    Hati Regia langsung mengerut begitu mendengar nama Dios disebut.
    “Aku juga tidak mengerti. Aku banyak berutang padanya. Dios sediki banyak bisa memahamiku. Mungkin karena kami sama-sama pendiam.”
    Nina terkekeh, lalu berpaling pada Regia dengan wajah serius, “Kurasa ia menearuh hati padamu.”
    Regia tersenyum lemah. “Lalu, kenapa dia meninggalkanku kalau memang benar begitu...?”
    Kid tersedak.
    “Apa?! Dios pergi?”
    “Kau tidak tahu?” tanya Nina.
    Kid menggeleng.
    “Sudah kubilang, kakiku ini terluka parah sekali. Sepuluh hari terakhir ini aku terkapar di tempat tidur, dan Zen juga tidak bilang apa-apa kecuali bahwa kalian di sini. Kenapa Dios pergi? Bukankah kita menang? Untuk apa dia pergi?” kid memberondong Regia dan Nina dengan pertanyaan. Tak ada yang bisa menjawab.
    “Baiklah,” kata Kid menyerah. “Jadi, Dios menghilang lagi. Paling dia pergi sebentar, lalu muncul lagi tiba-tiba seperti yang pernah dilakukannya.”
    Regia sama sekali tidak yakin. Setelah semua ini berakir, tak ada alasan lagi bagi mereka untuk tetap bersama-sama. Semua bebas pergi kemana pun yang disuka. Diputar-putar cangkirnya tanpa sadar.
    Nina mendeham, lalu mengubah topik pembicaraan. “Tapi, aku sempat keliru. Kukira Erica menginginkan lionti kerajaan karena takhta. Siapa sangka kalau liontin kerajaan adalah pecahan kristal Zauri yang dulu hilang?”
    “Hah? Yang benar?” Kid nyaris tersedak lagi.
    “Betul. Ingat waktu Nenek bilang kristal pencuci ingatan Regia agak aneh? Iu karena kristal Zauri bargabung dengnnya. Kebetulan sekali, liontin kerajaan telah diserahkan pada Regia, dan untungnya ia membawanya pada saat kami diubah oleh Erica. Tentu saja kristal itu kan melindungi pemiliknya,” jelas Nina panjang lebar.
    “Oh, begitu. Aneh sekali kau tanpa kristal itu. Tapi..., kau tetap cantik, kok,” ujar Kid sambil nyengir lebar.
    Regia cuma tersenyum tipis. Suasana kemudian berubah canggung.
    “Uhm..., sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat untuk pernikahanmu lusa nanti, tapi... entah mengapa kau kelihatan...—eh..., tidak bahagia...,” kata Kid dengan volume suara yang semakin lama semakin pelan karena wajah Regia semakin suram mendebgar kata-katanya.
    Tepat pada saat itu Zen muncul, diikutu Bert. Ada lencana baru tersemat didada Bert, mersih mengkilat. Ia memperolehnya karena ia membantu Zen menyadari bahwa Regia yang asli telah menghilang. Bert mengedip pada Nina dan membungkuk pada Regia.
    “S-s-selamat pagi..., P-P-Putri!”
    “Selamat pagi, Bert,” balas Regia.
    “Nah, kami pergi dulu. Kurasa Kid ingin menemui Dainty. Iya, ‘ka, Kid?” Nina menarik Kid sampai ia berdiri.
    “Hah? Eh...—oh...—iya. Sampai jumpa, Regia,” kata Kid, menyambar sepotong kue lagi, lalu berjalan dengan lengkah pincang mengikuti Nina, yang menyeret Bert dengan sebelah tangannya. Zen mengambil alih kursi di depan Regia.
    “Bagaimana kabarmu?” Zen mengembangkan senyumnya.
    “Baik.”
    Menghela napas, Zen memandangi tunangannya, yang masih memutar-mutar cangkirnya dengan tidak bergairah.
    “Kelihatannya aku harus menceritakan semuanya padamu.”
    Regia mengalihkan pandangnannya dari cangkir ke Zen.
    “Semua berawal dari ketika kita berjalan-jalan di taman waktu itu. Pada saat aku kembali ke bawah pohon, kau sudah tidak ada di sana. Ketika itu aku masih belum berfikir macam-macam mengingat sifatmu yang tidak bisa ditebak itu. Tapi, pada kunjungan berikutnya aku mulai merasakan hal yang aneh karena kau berubah. Kau menjadi.., yah..., gadis biasa...—kau tahu...—rajin berdandan dan sebagainya.
    “Setelah beberapa minggu, barulah aku menyadari bahwa kau bukan orang yang sama dengan yang kutemui pertama kali. Kemudian, aku bertemu Bert, yang dengan gugup menceritakan apa yang terjadi pada kau dan Nina. Tapi, pada saat itu aku tidak  percaya padanya, walaupun kau berkata bahwa Bert adalah temanmu. Makanya, aku diam saja. Sampai suatu ketika seorang gadis menerobos kamarku di tengah malam yang anehnya wajahnya amat mirip denganmu.”
    Regia ingat ketika ia, Mio, Kid, dan Dainty menyusup ke istana Elgamb melalui atap. Rupanya yang memitingnya waktu itu adalah Zen.
    “Kemudian aku kembali lagi ke sini, untuk meyakinkan diri bahwa kau tidak pergi kemana-mana, juga untuk memastikan bahwa tidak mungkin ada dua orang yang begitu mirip kecuali kembar, dan akhirnya aku mendapat kesempatan untuk melihat bekas luka yang dulu pernah kau tunjukkan padaku, yang ternyata tidak ada pada tempat seharusnya ia berada. Bekas luka itu terlalu tersembunyi untuk dilihat orang, dan kelihatannya Erica lalai—atau tidak mengetahui kau punya bekas luka—sehingga tidak membuatnya pada tiruanmu. Saat itulah aku tahu, Bert telah mengatakan kebenaran.
    “Aku tidak bisa memberitahu orang tuamu. Pertama, karena akan menimbulkan kehebohan. Yang kedua, karena yang berbuat adalah Erica, dan aku takut ia akan mencelakakanmu kalau ini terbongkar. Satu hal yang pasti, seseorang yang amat mirip denganmu ada di Elgamb, du negeriku sendiri. Maka, diam-diam aku mencarinya,”
    Zen berhenti sebentar untuk menatap Regia, yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
    “Pasukan Arta telah mencium keberadaanmudi Desa Emit, dan ketika aku disana, sudah terlambat. Kau sudah ditawan oleh mereka.sehingga aku tak punya pilihan lain selain ‘merebutmu’. Selanjutnya kau tahu, kita berteman. Tak bisa kuungkapkan bagaimana rasanya menemukanmu kembali. Apalagi setelah aku melihat bekas luka di kakimu waktu kau tidur, yang meyakinkanku bahwa kau Regia yang asli.”
    Zen berhenti bicara.
    Ganti Regia bertanya padanya, “Kenapa kau tidak bilang bahwa kau tahu siapa aku? Aku telah mempertaruhkan nyawa untuk mengetahui masa laluku...”
    “Karena, kau tidak mengenaliku. Kau terlihat seperti sedah mengalami kehidupan berbeda, dan aku ingin tahu mengapa kau tidak menemuiku padahal kau di Elgamb. Aku sama sekali tidak mngetahui bahwa kau hilang ingatan, meskipun aku tahu Mio adalah Nina,” jawab Zen.
    Regia terdiam, berusaha mencerna kata-kata Zen. Ia merasa konyol sendiri, mengejar-ngejar Mario dengan taruhan nyawa, untuk memperoleh kembali ingatannya, padahal semuanya ada pada Zen yang dengan mudah bisa menceritakan semua padanya kalau mau. Ia teringat malam ketika Dios kembali setelah menghilang. Rupanya Dios memergoki Zen yang sedang melihat bekas lukanya. Sungguh beruntung dulu ia menunjukkan bekas luka itu pada Zen—walau tujuannya waktu itu untuk membuat Zen berbalik tidak menyukainya.
    “Harusnya kau bilang..., ujar Regia lirih. “Kenapa kau tidak bilang...?”
    “Aku ingin kau menerimaku karena kepribadianku, bukan karena aku tunanganmu. Kita harus lebih saling mengenal...”
    “Itu ‘kan bisa kita lakukan setelah ingatanku kembali!” kata Regia keras. “Tapi, kenapa...?”
    “Lalu, aku harus bagaimana?” sahut Zen dengan nada suara lebih tinggi. “Aku telah kehilangan tunanganku, lalu setelah bersusah payah mencarinya aku menemukannya di tangan laki-laki lain!”
    “Apa maksudmu?”
    “Aku membicarakan Dios.”
    Hati Regia mengerut lagi. Mengapa semua pembicaraan ini berujung pada Dios? Kenapa tak ada yang menyadari kalau ia tak ingin membicarakan dia? Terdiam beberapa saat, Regia menyadari, ada suatu hal yang ingin diketahuinya.
    “Apa yang terjadi setelah aku pingsan, Zen? Kau berada di sana, ‘kan?” desaknya. “Mengapa Dios pergi?”
    “Aku mengatakan padanya siapa kau sebenarnya,” jawab Zen, menerawang sejenak. “Dios pergi karena aku menyuruhnya.”
    “Kau..—apa...?! kenapa kau melakukannya?!” tanpa sadar Regia terpekik kaget.
    “Aku melakukannya karena aku mencintaimu, Regia. Maafkan aku, tapi semua laki-kali pasti akan melakukan hal yang sama,” kata Zen lugas. “Harus kuakui bahwa Dios sportif. Ia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.”
    Regia telaihat bingung sehingga Zen memegang tangannya dengan sungguh-sungguh, “Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan dia?”
    Regia malah bertambah bingung. Zen benar. Sebenarnya meman tidak ada apa-apa yang terjadi antara dia dan Dios. Mungkin ia hanya terjebak perasaannya sendiri....
    “Dios tidak pernah menjanjikan apa-apa padaku...”
    Wajah Zen berubah cerah. “Sungguh?”
    Regia mengangguk.
    “Baguslah kalau begitu,” kata Zen lega. “Nah, sebaiknya aku pulang sekarang. Sampai ketemu... lusa.”
    Setelah Zen pergi, Regia masih duduk di sana, diliputi perasaan yang sukar dijelaskan.
                                                                   *    *    *

    Memandangi bayangannya sendiri di cermin, Regia mengerti apa yang tadi dikatakan Nina sepuluh menit yang  lalu, bahwa pengantin yang satu ini sempurna dalam banyak hal, kecuali senyum. Entah mengapa hal semudah tersenyum menjadi hal yang sulit sekali dilakukannya hari ini. Ia mencoba menarik sudut-sudut bibirnya, tetapihasilnya lebih mirip meringis daripada tersenyum. Ah, sudahlah, batinnya.
    Bayangan Bbibi Montella muncul di cermin. Ia memakai gaun yang terbaik, seperti biasa ia terlihat amat rapih.
    “Kau cantik sekali,” kata Bibi Montella, membetulkan letak mahkota mungil yang dipasang indah di kepala Regia.
    “Ah, Bibi....”
    “Rasanya beru kemarin kau belajar berjalan,” kata Bibi Montella, berlinang ai mata. “Tahu-tahu tiba juga saat aku harus melepasmu. Pangeran Zen adalah orang yang sangat baik, Nak. Ia akan menjagamu seumur hidupnya.”
    Regia tak tahu harus berkata apa. Bibi Montella benar. Tak ada yang salah dengan Zen, perasaannyalah yang salah. Setelah Nina muncul kemudian, mengatakan ‘tiba waktuny’. Regia berusaha berjalan di samping Bibi Montella dengan senyum terpasang. Nina mengikuti mereka, tampak jauh lebih bahagia daripada pengantinnya sendiri.
    Ketika menyusuri barisan orang di sepanjang lorong menuju Aula Besar tempat kedua orang tuanya dan Zen sudah berada, Regia merenungkan kembali hal yang dilakukannya ini. apakah salah ia dulu menerima begitu saja pertunangannya dengan Zen? Kalau tidak yain ddengan hatinya sendiri, apa yang harus dilakukannya? Sudah terlambatkah kalau ia mundur sekarang? Tetapi, kalau ia mundur, hubungan bai Tribiald-Elgamb yang selama ini terjalin terancam bubar. Ia tidak mau mengorbankan rakyatnya kelak, juga rakyat Elgamb yang sedikit banyak sudah dikenalnya. Regia menenangkan hatinya. Ia sekali lagi mengingatkan dirinya bahwa Zen sangnat baik. Mungkin ia akan belajar mencintainya kelak.
    Pintu Aula Besar terpentang lebar. Di ujung seberang, di atas singgasana, orang tuanya tersenyum. Zen juga ada di sana, terlihat sangat bahagia. Orang-orang yang hadir bertepuk tangan ketika ia melangkah masuk, berjalan di atas ribuan kelopak bunga berwarna ungu—warna Tribiald—yang ditebar sepanjang lorong menuju singgasana.
    Mereka akan mengadakan upacara sekarang. Zen akan meminta Regia pada orang tuanya. Regia sadar, setelah upacara ini, ia akan menjadi Milik Zen sepenuhnya. Tetapi, mengapa ia malah merasa takut? Bukankah ia sendiri yakin kalau Zen tak akan pernah menyakitinya?
    Kid berdiri di deretan paling depan, nyengir lebar, tampak aneh dalam pakaian resmi Tribiald yang khusus dijahit untuknya.
    Regia membalas senyumnya sekilas. Seharusnya Dainty juga hadir, tetapi ia mengatakan luka-lukanya masih terasa sakit, dan ia tidak bisa bertahan selama upacara berlangsung. Dainty mengucapkan selamat, tetapi entah mengapa Regia menangkap kesedihan yang janggal dalam nada suaranya. Arta—atau tepatnya Raja Eluan XVI—ikut hadir pula.
    Zen tersenyum, meraih tangan Regia, dan mereka berdua duduk berlutut di atas bantal di singgasana. Seorang laki-laki tua berjubah tebal memimpin manusia.
    “Hari ini kita berkumpul untuk menghadiri pernikahan antara Fratier Zen dab Regia Vien al Tribiald. Silakan nyala api.”
    Masih berpegangan dengan Zen, Regia menerima sebatang lilin berhias yang kemudian dinyalakan oleh seseorang. Zen menoleh padanya, lilinnya sudah menyala dengan asap berbau harum.
    Regia menatap lilin yang di pegangnya di depan dada. Nyala api lilin memantul dari kristal Zauri yang tergantung di lehernya, membuatnya berkilau indah. Kristal yang membuatnya memulai pertulangan itu..., membuatnya bertemu dengan Dios...
    “Api telah dinyalakan, mari kita berdoa...”
    Menatap kristal itu, ia tahu apa yang telah hilang darinya. Ia tidak ingin meikah dengan Zen karena ia takut. Ia takut karena ia telah yakin pada satu hal yang semakin terlihat jelas. Dios sudah memiliki hatinya, dan telah membawanya pergi....
    “Regia?”
    Regia tersentak ketika Zen menghapus air mata di pipinya.
    “Ada apa?”
    Tersenyum, Regia menggeleng, lalu melihat ke arah depan, bersaha memusatkan konsenterasi.  Sekarang sudah terlambat untuk memutar arah. Sudah terlanjur sejauh ini. baik ayah maupun ibunya terlihat heran, sementara beberapa orang mulai berbisik-bisik.
    “Ehem...,” lelaki tua pemimpin upavcara berdeham. “Kita lanjutkan. Nah, Zen, silakan meminta Regia pada orang tuanya agar ia bisa mendampingimu, erjanjilah untuk senantiasa menjaganya dalam keadaan apa pun.”
    Zen bergeming.
    “Zen?”
    Kembali orang-orang mulai berbisik karena Zen tetap mematung. Regia merasa heran. Apa yang ditunggu oleh Zen?
    Perlahan, Zen meniup lilinnya. Diletakkannya di lantai. Kemudian, diambilnya lilin di tangan Regia, yang mengalami nasib yang sama dengan lilin yang oertama. Setelah menghela napas, tampak berusaha menguatkan diri, Zen berkata, pelan tapi jelas.
    “Regia, aku tidak bisa menikahimu.”
    “Apa?”
    Regia mengerjap bingung.
    “Aku ingin mendampingimu, memilikimu. Tapi, aku tak akan melakukannya kalau dengan demikian kau tidak bahagia.”
    Regia hampir tidak memercayai pendengarannya sendiri.
    “Zen, aku...—“
    “Shh..., jangan bicara lagi. Sekarang, pergilah, cari dia.”
    Menatap matanya, Regia tahu Zen bersungguh-sungguh. Ia merasakan kehangatan menyelinap dalam hatinya. Harapannya timbul kembali.
    “Zen, terima kasih...”
    Zen tersenyum. “Pergilah. Aku berdoa untukmu.”
    Tanpa pikir panjang lagi, Regia bangkit, lalu berlari ke arah pintu. Kemudian, ia teringat sesuatu. Mungkin..., kalau dugaannya tidak krliru....
    “Zen!” serunya. “Temuilah Danty!”
    Zen kelihatan heran, tapi kemudian berkata, “Baiklah!”
    Regia berpaling dengan lega.
    Tidak memedulikan suasana yang mulai gaduh, Regia berlari ke luar istana, menuju kebebasannya. Untungnya semua orang sedang sangat terkejut sehingga tak ada yang sempat berpikir untuk menahan kepergiannya.
                                                              *   *   *
    Dan, kemudian, di luar gerbang istana, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya melonjak kegirangan.
    Mayorka, dengan gaun pesta warna-warni berlapis-lapis yang terurai ke tanah sampai beberapa meter panjangnya, jatuh berdebam dari fusan-nya. Ia langsung bangkit dan—seperti biasa—memaki Bruna yang masih duduk dengan tampang beloon di dalam fusan.
    “Dasar bodoh!” pekiknya mengimeli. “Sudah tahu kita terlambat, kenapa kau injak gaunku!”
    “Bukannya lau jatuh sendiri, Bos...? Aduh!”
    “Ayo, turun! Apa perlu kau kuseret dulu?!” ancam Mayorka, yang tentu saja mustahil bisa benar-benar dilakukannya, tetapi Bruno toh turun juga.
    Regia bergegas menghampiri mereka, membuat Mayorka terpekik kaget.
    “Aaah! Lho.., ap...—apa...., bukannya...—Kenapa kau ada di sini?!” teriak Mayorka gagap, telunjuknya menunjuk-nunjuk tak jelas ke arah istana.
    “Kau terlambat juga?” tanya Bruni bodoh.
    Melepas mahkotanya, Regia memberikannya pada Mayorka, yang masih ternganga. Ia sendiri melompat ke dalam fusan.
    “Untukmu, sebagai ganti fusan ini!” teriaknya pada Mayorka. “Ke mana arah menuju Elgamb?”
    Mayorka, masih kebingungan, menuju ke arah barat daya, dan Regia lantas melesat ke sana. Fusan itu masih selincah yang diingatnya, dan ia mengendarainya dengan senang hati. Ia akan menemui Dios sekarang! Ia yakin, Dios ada di sana...!
    Belum pernah ia mengendarai fusan secepat itu. Regia merasa begitu bebas, tanpa terasa fusan telah melewati perbatasan Elgamb-Tribiald. Ia teerbang di atas Arian sekarang. Istana Elgamb yang runtuk sudah mulai utuh; para pekerja masih membangunnya. Kota pun sedang diperbaiki di sana-sini.
    Kemudian, ia melihat lembah Arian, yang kini berwarna kuning, penuh bunga loufil mungil yang sedang mekar. Dari lembah ini Regia berputak ke arah barat. Desa Emit, tujuan berikutnya, semakin lama semakin dekat, dan akhir nya ia bisa melihat rumah-rumah yang berdiri berjauhan satu sama lain. Sekilas tadi ia melihat hutan mungil dengan kilau-kilau cahaya di dalamnya. Itu pasti Hutan Perspero, tempat tinggal para peri. Apakah mereka mengetahui Mio sekarang bukan peri lagi? ataulah, mereka sudah mengetahui sejak dulu? Regia melambatkan laju fusan.
    Dilihatnya padang rumpur di atas tebing itu, tempat kuburan orang tua Dios berada. Padang itu lengang. Regia merasa heran. Tadinya ia yakin sekali Dios ada di situ, entah berlatih lagi, atau mungkin cuma duduk melamun, atau apalah. Penasaran, Regia mndaratkan fusan dan menghampiri kedua nisan yang ditumbuhi rerumputan dan berlumut, tampak sudah lama tidak diurus. Kalau Dios tidak ada di sini, ke mana dia? Ia berdiri di bawah pohon, menatap pemandangan Desa Emit di bawahnya, sementara angin bertiup mengibaskan gaunnya. Mungkin Dios kembali ke rumahnya.
    Begegas ia naik ke atas fusan, menuruni tebing curam itu. Rumah Dios, terletak paling ujung, dengan mudah dicapainya. Setelah memarkir fusan di halaman, Regia menghambur ke dalam rumah.
    “Dios! Dios!”
    “Tetapi, rumah itu kosong. Keadaannya sama persis dengan ketika mereka meninggalkannya dulu. Cangkir-cangkir kotor malah masih ada di atas meja, belum dibereskan sama sekali, menandakan tak ada orang di situ selama lebih dari tiga minggu terakhir ini.
    Dalam keadaan bingung, Regia berlari ke rumah Nenek Luina, siapa tahu Dios ada di sana. Tetapi, rumah Nenek juga kosong. Regia bahkan bertanya pada penduduk desa. Ternyata, terakhir keli mereka melihat Dios adalah pada hari ketika cahaya merah terlihat di Gizmoa. Sama sekali tak ada tanda-tanda Dios di desa ini!
    Regia teringat, Dios terluka parah dalam pertempuran melawan Mario dan Erica. Bahkan, tangannya pun terbakar hebat. Apakah Dios tidak bisa bertahan dan sekarang telah...—tidak, tidak! Regia menggelengkan kepala keras-keras, berusaha menyingkirkan bayangan mengerikan itu dari pikirannya. Ia berlari kembali ke fusan. Kalaupun kekhawatirannya keyataan, pasti ada bukti kalau Dios sudah meninggal. Mungkin tubuhnya, atau pedangnya..., di suatu tempat..., mungkin di tengah Hutan Gizmoa...
    Menghapus bulir air mata yang mulai muncul di sudut matanya, Regia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Kemudian, sambil bertekad untuk tetap tabah, ia berangkat ke Gizmoa.
    Sudah lewat tengah hari ketika Regia sampai di Gizmoa. Bergegas ia menuju bagian hutan yang sekarang terbuka, tempat pertempuran itu terjadi. Tempat itu kosong. Yang ada hanya batang-batang pohon yang tumbang, memberi Regia tampat untuk mendaratkan fusan. Regia turun dari fusan, berjalan menuju sungai tempat dulu  pernah berkaca. Kali ini bayangannya tanpa kristal di dahi. Hutan Gizmoa terlalu berbahaya untuk dilalui dengan berjalan kaki kalau sendirian. Maka, Regia kembali ke fusan.
    Regia menghabiskan siang itu dengan berputar-putar di dalam hutan—sejauh yang ia mampu—mencari tanda-tanda keberadaan Dios. Betapa mengherankan bahwa binatang-binatang buas di Gizmoa ternyata telah menghilang, seakan tewasnya Mario dan Erica membuat mereka sirna begitu saja.
    Tak ada tanda-tanda Dios sama sekali. Apakah arugis-arugis itu telah memangsanya habis? Ataukah, ia sudah ditelan bubaglop raksasa tanpa sempat melawan? Regia benci mengakui hal ini, tetapi kelihatannya Dios benar-benar sudah....
    Matahari sudah tergelincir di ufuk barat ketika akhirnya Regia menyerah. Ia melayang di atas Gizmoa, berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya kemudian. Pulang ke Tribiald terlalu jauh. Tetapi, ia pun enggan menginap di Desa Emit karena akan membuatnya semakin dekat dari situ. Lagi pula, ia berminat meneruskan pencarian esok pagi. Maka, dibawanya fusan melintasi padang rumput amat luas itu, yang kini berwarna keemasan terkena sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di balik bebukitan.
    Tiba-tiba, Regia melihatnya!
    Berdiri di antara rumput-rumput yang tinggi, dengan tangan kanan terbalut, memandangi matahari senja. Regia hempir tak mempercayai penglihatannya. Tak salah lagi, itu dia!
    Dios menoleh ketika Regia mendaratkan fusan sembarangan, melompat keluar, dan berlari ke arahnya. Sorot matanya heran bercampur tidak percaya ketika Regia menghambur padanya. Selang beberapa saat, yang bergerak hanya rerumputan yang tertiup angin. Pelukan mereka begitu erat.
    Akhirnya, Dios berkata, “Kenapa kau ada di sini? Apa yang kau lakukan di sini?”
    “Aku mencarimu...”
    Dios menatap Regia, langsung di matanya.
    “Mencariku? Tapi, ini hari pernikahanmu, ‘kan?”
    Ganti Regia yang heran. “Dari mana kau tahu? Bukankah...—“
    “Tak ada orang Elgamb yang tidak tahu Putri Regia dari Tribiald.”
    “Aku lebih suka kau memanggilku Kayla.”
    Dios tersenyum sekilas.
    “Zen melepasku. Kami tidak terikat lagi.”
    Senyum Dios lenyap. “Apa yang terjadi?”
    “Sejak awal aku tidak menginginkan pertunangan itu. Aku mencari cinta sejatiku, Dios. Dan, Zen tidak bisa memilikiku.”
    “Kenapa?”
    “Karena..., sudah kukatakan padamu, ‘kan..., aku tidak bisa meninggalkanmu.”
    Dios menatap Regia, kemudian berkata perlahan, nyaris berbisik, “Namamu selalu mengalir dalam darahku....”
    Regia terpaku, nyaris tidak percaya pada yang baru saja dikatakan Dios. Tetapi, mata Dios menyiratkan kebenaran, Regia tahu Dios tidak berbohong.
    “Telingaku terus-menerus mendengar suaramu...,”
    “Dios...”
    “Dan, ke mana pun pergi aku melihatmu....”
    Regia tidak bisa membendung lagi air matanya. Kata-kata Dios menghangatkan hatinya, ia merasa amat lega karena Dios merasakan hal yang sama.
    “Kau menangis lagi,” kata Dios.
    “Oh! Maaf...—“ Regia buru-buru menyeka pipinya. “Aku lupa kau tidak suka kalau ada yang menangis di dekatmu, membatmu kelihatan lemah.”
    “Bukan. Kau keliru...,” sahut Dios. “Aku tidak suka kalau kau yang menangis. Tangisanmu membuatku merasa tidak berdaya karena tidak bisa melindungimu dari apa  pun yan membuatmu menangis. Sejak pertama melihatmu, aku sudah ingin melindungimu.”
    Regia bingung mendengarnya. “Apa maksudmu?”
    “Seorang gadis, tidak bersenjata dan hanya di temani peri, nekat masuk ke sarang aloft hanya untuk menginap. Bagaimana aku tidak khawatir?”
    “Kau...—kau mengawasi aku waktu itu?!”
    “Kalau kau mendongak, kau bisa melihatku,” jawab Dios. “Aku ada di atas pohon waktu itu.
    Dios menungguinya di atas pohon? Kalau begitu, meskipun belum pernah bertemu sebelumnya, ia semalaman menjaga Regia karena aloft itu baru datang keesokan paginya. Setelah beberapa saat hanyut dalam haru, sesuatu terlintas, membuatnya tertawa geli.
    “Apa?” tanya Dios heran. “Ada apa?”
    “Akhirnya kau mengakuinya!”
    Alis Dios bertaut. “Mengakui apa?”
    “Kau memang berniat menolongku waktu itu!”
    Dios yang kemudian mengerti maksud Regia, ikut tertawa juga.
    Sementara itu, matahari hampir menghilang. Langit yang berwarna biru galap, lembayung, dan emas yang memiringi jejaknya dengan anggun.regia menatap pemandangan itu, terpesona.
    “Indah sekali,” desahnya. “Ini kedua kalinya kita melihat matahari terbenam di sini, ‘kan?”
    “Matahari terbit di sini jauh lebih indah,” kata Dios, tersenyum pada Regia. “Mau melihatnya bersamaku?”
    Regia mengangguk.
    Sang penguasa siang telah menarik rapat kelambu malamnya, kemudian beristirahat sampai tiba waktunya bersinar lagi esok pagi. Hanya angin sepoi yang tinggak untuk menemani padang rumput itu.








bagus deh ceritanya dijaminn :D Zauri banget deh♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar