" Jangan cm berandai-andai/membayangkan sesuatu yg bhkn terlihat mustahil olehmu, lakukanlah, mgkn apa yg akan km lakukan itu akan berakhir bahagia. tdk ada slhnya mencoba. dan jgn takut mencoba sesuatu yg baru"

Kamis, 31 Mei 2012

Legenda Orfeus

Legenda Yunani ada yang menyedihkan, salah satunya adalaah *jengjeng* *lebay* langsung aja kisah Orfeus dan Eridik...

     Orfeus adalah anak dari calliope dan apollo. Apollo adalah pemusik dan penyair terbesar dalam mitos yunani, nyanyian-nyanyiannya yang diriingi petikan lyra mampu menjinakkan binatang buas dan menggerakkan batu maupun tumbuhan saking indahnya. Orfeus mempunyai istri bernama Eridik.
     Suatu kali Eridik terbunuh karena dipatuk ular berbisa orfeus sangat terpukul karena besar rasa cintanya Orfeus berani menentang aturan dewa. dia pergi ke dunia Hades (dunia akhirat) untuk menjemput Eridik, keinginannya ditentang Dewa Hades namun nyanyiannya yang indah berhasil melunakkan hati hades akhirnya orfeus di ijinkan membawa Eridik ke dunia manusia dengan satu syarat yaitu selama dalam perjalanan dari dunia hades ke dunia manusia Eridik harus berjalan di belakang Orfeus dan Orfeus dilarang sekalipun menoleh ke belakang sebelum tiba di gerbang dunia manusia orfeus menyanggupi, sayang lantaran tidak yakin Eridik mengikuti langkahnya Orfeus menoleh tepat di beberapa langkah menuju gerbang manusia maka Eridik ditarik kembali ke dunia hades( dunia akhirat) sementara orfeus tidak dapat mengulang kembali perjalanannya ke dunia hades orfeus kehilangan Eridik untuk kedua kalinya. 
        Sejak saat itu orfeus tak punya semangat hidup dia hanya berkelana ke sana kemari tak tentu arah dia mengasingkan diri diri dari orang-orang yang di kenalnya nyanyiannya dn petikan lyranya tidak seindah dulu suatu kali saat dia sedang bermain lyra di bawah pohon. Datang sekawanan wanita yang pernah dikecewakann olehnya mereka datang dengan marah kemudian memukuli orfeus hingga tewas kepalanya terpenggal dan dia masih bernyanyi kendati di hanyutkan arus sungai orfeus menyusul istrinya saat tak dipunyai semangat hidupnya lagi.

Summer Triangle *Segitiga Musim Panas*

Summer triangle (segitiga musim panas). adalah sebutan untuk 3 bintang terang yg berbentuk segitiga. Orang-orang luar negeri bilang, kalo summer Triangle sudah muncul di langit utara itu berarti musim panas akan segera tiba. ke-3 bintang itu adalah Vega (dari rasi Lyra), Altair (dari rasi Aquila) dan Deneb (dari rasi Cygnus) Vega merupakan protobintang (calon bintang) utara, 12 ribu tahun dari sekarang sumbu rotasi bumi kita akan mengarah ke bintang itu. Nantinya Vega akan menjadi bintang utara yg menggantikan kedudukan polaris. ke-3 bintang ini juga sering dgunakan sebagai petunjuk untuk mencari rasi-rasi bintang yang lainnya. Deneb juga memiliki nama panggilan, orang-orang mengenalnya sebagai salib utara. Di tengah2 segitiga ini akan membentang galaksi Milky Way (org Indonesia menyebutnya Bima Sakti). Summer Triangle ini juga bisa dilihat di pagi hari selama musim semi dan di malam hari selama musim gugur (sampai bulan November). ini sedikit cerita dari segi astronomi.

Kalo menurut mitologi Yunani gimana yaaaa? hmm..
langsung aja yuk

Vega, Altair dan Deneb adalah nama2 tokoh dalam mitologi Yunani. Dikisahkan bahwa mereka ber-3 adalah sahabat. Vega si cerdas adalah bagian utama dalam rasi Lyra. Nama Lyra sendiri adalah sebutan untuk harpa milik Orpheus, seorang musisi dalam mitologi Yunani kuno, Deneb yang berada dalam rasi Cygnus adalah sosok angsa putih yang gemulai, cantik dan menarik. Dengan tarian angsanya (swan) dia dapat memikat para dewa-dewi, Dalam suatu legenda, angsa adalah pahlawan bagi Orpheus, Altair dalam rasi Aquila lah yang paling kuat diantara mereka bertiga, karena aquila dapat diartikan sebagai elang. simpelnya, Altair tuh digambarin sebagai Guardian Angel bagi 2 sahabatnya.

Favorite Part of "Zauri" #4

Dibab terakhir  ini di ceritakan bahwa Kayla telah ingat kembali siapa dirinya setelah beberapa peristiwa yang bahkan mempertaruhkan nyawa. Namun setelah Kayla—alias Regia—telah kembali ke istana Tribiald—rumahnya—Dios tiba-tiba menghilang dan Regia tak tahu alasannya mengapa. Belum lagi tentang pernikahannya dengan Zen, laki-laki yang tidak di cintainya....


BAB 17—RANTAI YANG TERPUTUS—ZAURI, Karya Dian K.



“Aku senang kau selamat.”
    “Terima kasih. Aku sangat beruntung, orang itu hanya menusuk perutku, bukan jantungku.”
    “Untung ada Zen di sana.”
    “Iya. Ngomong-ngomong tentang Zen, aku harus minta maaf padamu. Aku tidak tahu dia tunanganmu.”
    Diam sejenak.
    “Waktu itu aku juga tidak tahu.”
    “Dia sangat tampan, kau tahu. Juga sangat baik.”
    “Iya, aku tahu.”
    “Kau masih belum membuka hati untuknya, ya?”
    Regia tidak menjawab. Hanya tersenyum, kemudian melayangkan pandangan ke sekitar. Dainty duduk di tempat tidurnya, kelihatan pucat dan lemah, tetapi ia sudah tenang sekarang dan senang kalau ada yang menjenguknya.
    Sudah tiga minggu sejak kejadian di Gizmoa, Regia tetap tak paam apa yang terjadi setelah kejadian mengerikan itu berakhir. Hal terakhiryang diingatnya sebelum pingsan adalah ingatannya telah kembali, dan hal berikut yang dilihatnya adalah Zen yang duduk di tepi tempat tidurnya di Tribiald. Apa yang terjadi di antara kedua halitu masih teka-teki baginya, karena Zen, saksi satu-satunya yang ada, belum datang lagi ke Tribiald karena harus membersihkan sisa-sisa kerusakan di Elgamb.
    Kelihatannya, semua orang dikedua negeri sudah tahu apa yang dilakukan Erica dan Mario. Bibi Montella hampir kena serangan jantungbegitu mendapati anak asuhnya ada dua, hanya yang satu kaku seperti boneka. Tak ada yang  mengira Regia palsu itu Cuma boneka ciptaan Erica karena secara fisik tiruan ini amat sempurna, kecuali bekas luka dikakinya, tentu saja. Tetapi, karena Regia yang asli sudah kembali, semua rang tenang kembali.
    Satu minggu masa berkabung untuk kematian Raja Eluan XV sudah berlalu. Arta sudah naik tahta. Dan, hal yang paling dihindari Regia selama ini akan segera datang: pernikahannya dengan Zen.
    Untuk yang satu ini, Regia sudah angkat tangan. Baik pihak Elgamb maupun Tribiald bersikeras utuk mempercepat upacara penikahan, apalagi setalah semua yang telah terjadi pada Regia beberapa waktu belakangan ini. Zen tidak ingin kehilangan tunangannya sekali lagi.
    Kedua negeri tetangga ini membereskan semaua kekacauan yang timbul. Istana Elgamb sedang dibangun lagi. Raja Eluan XVI—alias Arta—telah melebur pedang Godard dan perisai Elgamb. Sarung tangan Menasphius sudah dilenyapkan, unuk mencegah kejadian serupa terulang di masa datang.
    Sementara itu, ayah Regia sudah menjebloskan sisa antek-antek Erica ke dalam penjara, termasuk Dayang Sona, terutama untuk tuduhan pembunuhan terhadap Jendral Auber yang mereka singkirkan setelah Regia dikirim Erica ke Gizmoa. Pasukan Erica yang lan ditemukan di Gizmoa, yang ternyata tak sanggup bertahan hidup setelah sihir Erica punah.
    Regia telah meminta Mayorka dan Bruno, yang telah banyak berjasa, untuk pindah ke Tribiald. Mereka sekarang menyewakan fusan di Noran—ibu kota Tribiald—dan sedang berusaha mengurangi jumlah korban yang timbul karena menjadi penumpang fusan mereka.
    Dainty mengambil alih perhatian Regia.
    “Mm..., ada kabar Dios?”
    Regia menggelang. Sejak kejadian di Hutan Gizmoa, Dios seperti menghilang. Zen, satu-satunya yang mengetahui apa yang terjadi, mengatakan Dios pergi begitu saja sesaat setelah Erica tewas. Ini yang membuat Regia tak habis pikir.
    “Maaf.” Kata Dainty lagi, “Aku tak bermaksud...—yah..., bagaimanapun, Dios pernah menjadi bagian dari kita. Kau tahu, aku jatuh hati padanya sejak ia menyelamatkan rumah minumku dari segerombolan pemabuk yang berniat menghancurkannya. Tapi, kemudian aku tahu, Dios tak pernah  berusaha sekuat tenagamemerhatikanku walau aku. Karena ada kau.”
    Regia terperangah mendengar kata-kata Dainty “Maksumu?” tanyanya hati-hati.
    Dinty tersenyum. “Aku sudah menyerah. Dios hanya melihat padamu.”
    “Tapi...”
    “Walaupun kau tidak menyadarinya, hal itu terlihat jelas. Apa itu membuatmu laga?”
“Mungkin. Aku tidak tahu apakah itu ada gunanya sekarang...,” gumam Regia pelan.
    Percakapan mereka terhenti karena ibu Regia masuk ke dalam kamar, diikuti Bibi Montella—yang seperti biasanya sangat rapi—dan Nina, yang mengedip nakal pada Regia dan Dainty. Perubahan tubuh Nina pada mulanya mencengangkan Danity, yang tadinya tidak percaya kalau Nina adalah Mio. Tetapi begitu mereka bercakap-cakap, keraguan Dainty lenyaplah sudah.
    Regia mencium ibunya.
    “Nah, kulihat temanmu semakin sehat,” kata Ratu, tersenyum pada Dainty. “Bagaimana keadaanmu?”
    “Baik sekali, Ratu, terima kasih,” jawab Dainty.
    Ratu berpaling pada Regia. “Sudah ditetapkan, hari An adalah hari terbaik untuk pernikahanmu. Itu berarti lusa.”
    Regia sudah tidak berminat mendengar dan mengatakan apa-apa lagi. Apalagi, kalau topiknya mengenai pernikahannya dengan Zen.
    “Baik, Bu. Aku mau ke teras sekarang,” jawab Regia, lalu berpaling pergi.
    “Apakah ia tidak terlalu muda untuk menikah?” Regia mendengar Bibi Montella bertanya pada ibunya.
    Tanpa menunggu ibunya menjawab, Regia menutup pintu lalu bergegas pergi ke temapt favoritnya sejak kembali ke Tribiald, teras balkon lantai tiga.
    Istana Tribiald dibangun di atas bukit yang tinggi, dan balkon tiga adalah tempat yang paling strategis untuk mendapatkan jangkauan pandang paling luas. Regia bisa melihat sebagian taman istana yang amat luas itu; atau menyaksikan kota yang ceria dengan warna-warni penduduknya; bahkan lebih dari sekali ia melihat fusan Mayorka  menukik-nukik menyeramkan di kejauhan, membuat angkasa menjadi tempat yang berbahaya untuk berjalan-jalan. Regia hanyut dalam launan, sampai Nina menghampirinya.
    “Regia, ada yang ingin menemuimu,” kata Nina.
    Nina hanya berani memanggil nama pada Regia kalau mereka sedang berdua. Kalau tidak, Bibi Montella akan menggantungnya.
    “Lain kali saja. Aku sedang malas bertemu dengan siapapun,” jawab Regia tanpa berpaling.
    “Termasuk aku?” sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar, membuat Regia menoleh tidak percaya. Berdiri dengan tongkat penyangga dan kaki terbebat perban, seseorang yang dikiranya sudah tiada.
    “Kid!” Regia menyongsong dengan wajah berseri-seri. “Kau selamat!”
    “Begitulah,” jawab Kid, masih dengan gayanya yang sok aksi seperti biasa. “Aku harus berlari berputar-putar, mengalahkan beberapa arugis yang mengejarku, lalu ditemukan pasuka Zen dipinggir Gizmoa. Untung saja karena aku sudah kehabisan tenaga! Nyaris saja aku kehilangan kaki-kakiku. Kabar baiknya, aku punya beberapa tanduk arugis dan madi bubaglop sekarang. Aku lagi kaya, nih!”
    “Kenapa baru datang sekarang? Zen juga tidak bilang kau masih hiduo, Kid,” kata Regia terharu.
    “Soalnya, aku baru bertemu Zen dua hari yang lalu! Aku durawat di Bangsal Sakit dua minggu lebih, dan ketika aku bilang aku mau bertemu Zen, semua orang menertawaiku,” jawab Kid kesal. “Karena tidak ada yang percaya aku kenal dengan Zen, aku berteriak-teriak terus sampai Zen turun sendiri ke bangsal. Hah! Puas rasanya melihat tampang orang-orang itu ketika akhirnya Zen mendatangiku!”
    Mereka lantas duduk mengelilingi meja,
    “Tak kusangka kau ternyata Putri Tribiald, Kayla—ah, kurasa aku harus memanggilmu Yang Mulia, ya...,” kata Kid sambil menikmati kue yang ditata cantik dalam piring-piring perak.
    “Wah, jangan! Kau temanku, panggil namaku saja,” jawab Regia. “Lalu, bagaimana kau datang kesini? Kakimu ‘kan masih sakit.”
    “Waktu aku bilang ingin menemuimu, Zen lantas membawaku kemari.”
    “Zen disini?” semangat Regia langsung merosot.
    “Masih bersama ibumu,” kata Kid, lalu menoleh pada Nini. “Jadi, kau Mio, ya? Aneh rasanya, melihat kau sebesar ini.”
    “Namaku Nina,” jawab Nina,tersenyum riang. “Sudah lama kau ingin bicara denganmu, Kid.”
    “Senyummu manis juga,” kata Kid, rupanya isengnya kumat. “Apa kau bilang tadi? Ingin bicara denganku? Nah, aku sudah di sini. Katakan saja, kau ingin memuji kegantenganku, ‘kan?”
        Setelah memandangi Kid dengan hati mendongkol, Nina memutuskan Kid perlu disumpal dengan sepotong kue lagi.
    “Oh, ya, selama ini kau peri kau ‘kan tidak bisa berbicara,” kata Kid beberapa menit kemudian, setelah berhasil menelan kue yang disumpalkan Nina, “Bagaimana rasanya...,—mm, kue ini lezat..—maksudku, kau ‘kan tahu kejadian sebenarnya?”
    “Wah, menyebalkan sekali! Aku satu-satunya yang tahu semua kejadian, tapi sama sekali tak bisa memberitahukannya pada kalian,” sahut Nina kesal. “Padahal aku sudah menjerit-jerit, sampai serak rasanya! Bahasa peri memang lain. Peri-peri itu bisa bicara denganku, tapi mereka pun tak bisa membantu. Erica sialan itu benar-benar cerdik, mengubahku menjadi peri karna peri ‘kan tidak bisa bicara!”
    “Kelihatannya Dios dekat denganmu,” sambung Kid pada Nina.
    Hati Regia langsung mengerut begitu mendengar nama Dios disebut.
    “Aku juga tidak mengerti. Aku banyak berutang padanya. Dios sediki banyak bisa memahamiku. Mungkin karena kami sama-sama pendiam.”
    Nina terkekeh, lalu berpaling pada Regia dengan wajah serius, “Kurasa ia menearuh hati padamu.”
    Regia tersenyum lemah. “Lalu, kenapa dia meninggalkanku kalau memang benar begitu...?”
    Kid tersedak.
    “Apa?! Dios pergi?”
    “Kau tidak tahu?” tanya Nina.
    Kid menggeleng.
    “Sudah kubilang, kakiku ini terluka parah sekali. Sepuluh hari terakhir ini aku terkapar di tempat tidur, dan Zen juga tidak bilang apa-apa kecuali bahwa kalian di sini. Kenapa Dios pergi? Bukankah kita menang? Untuk apa dia pergi?” kid memberondong Regia dan Nina dengan pertanyaan. Tak ada yang bisa menjawab.
    “Baiklah,” kata Kid menyerah. “Jadi, Dios menghilang lagi. Paling dia pergi sebentar, lalu muncul lagi tiba-tiba seperti yang pernah dilakukannya.”
    Regia sama sekali tidak yakin. Setelah semua ini berakir, tak ada alasan lagi bagi mereka untuk tetap bersama-sama. Semua bebas pergi kemana pun yang disuka. Diputar-putar cangkirnya tanpa sadar.
    Nina mendeham, lalu mengubah topik pembicaraan. “Tapi, aku sempat keliru. Kukira Erica menginginkan lionti kerajaan karena takhta. Siapa sangka kalau liontin kerajaan adalah pecahan kristal Zauri yang dulu hilang?”
    “Hah? Yang benar?” Kid nyaris tersedak lagi.
    “Betul. Ingat waktu Nenek bilang kristal pencuci ingatan Regia agak aneh? Iu karena kristal Zauri bargabung dengnnya. Kebetulan sekali, liontin kerajaan telah diserahkan pada Regia, dan untungnya ia membawanya pada saat kami diubah oleh Erica. Tentu saja kristal itu kan melindungi pemiliknya,” jelas Nina panjang lebar.
    “Oh, begitu. Aneh sekali kau tanpa kristal itu. Tapi..., kau tetap cantik, kok,” ujar Kid sambil nyengir lebar.
    Regia cuma tersenyum tipis. Suasana kemudian berubah canggung.
    “Uhm..., sebenarnya aku ingin mengucapkan selamat untuk pernikahanmu lusa nanti, tapi... entah mengapa kau kelihatan...—eh..., tidak bahagia...,” kata Kid dengan volume suara yang semakin lama semakin pelan karena wajah Regia semakin suram mendebgar kata-katanya.
    Tepat pada saat itu Zen muncul, diikutu Bert. Ada lencana baru tersemat didada Bert, mersih mengkilat. Ia memperolehnya karena ia membantu Zen menyadari bahwa Regia yang asli telah menghilang. Bert mengedip pada Nina dan membungkuk pada Regia.
    “S-s-selamat pagi..., P-P-Putri!”
    “Selamat pagi, Bert,” balas Regia.
    “Nah, kami pergi dulu. Kurasa Kid ingin menemui Dainty. Iya, ‘ka, Kid?” Nina menarik Kid sampai ia berdiri.
    “Hah? Eh...—oh...—iya. Sampai jumpa, Regia,” kata Kid, menyambar sepotong kue lagi, lalu berjalan dengan lengkah pincang mengikuti Nina, yang menyeret Bert dengan sebelah tangannya. Zen mengambil alih kursi di depan Regia.
    “Bagaimana kabarmu?” Zen mengembangkan senyumnya.
    “Baik.”
    Menghela napas, Zen memandangi tunangannya, yang masih memutar-mutar cangkirnya dengan tidak bergairah.
    “Kelihatannya aku harus menceritakan semuanya padamu.”
    Regia mengalihkan pandangnannya dari cangkir ke Zen.
    “Semua berawal dari ketika kita berjalan-jalan di taman waktu itu. Pada saat aku kembali ke bawah pohon, kau sudah tidak ada di sana. Ketika itu aku masih belum berfikir macam-macam mengingat sifatmu yang tidak bisa ditebak itu. Tapi, pada kunjungan berikutnya aku mulai merasakan hal yang aneh karena kau berubah. Kau menjadi.., yah..., gadis biasa...—kau tahu...—rajin berdandan dan sebagainya.
    “Setelah beberapa minggu, barulah aku menyadari bahwa kau bukan orang yang sama dengan yang kutemui pertama kali. Kemudian, aku bertemu Bert, yang dengan gugup menceritakan apa yang terjadi pada kau dan Nina. Tapi, pada saat itu aku tidak  percaya padanya, walaupun kau berkata bahwa Bert adalah temanmu. Makanya, aku diam saja. Sampai suatu ketika seorang gadis menerobos kamarku di tengah malam yang anehnya wajahnya amat mirip denganmu.”
    Regia ingat ketika ia, Mio, Kid, dan Dainty menyusup ke istana Elgamb melalui atap. Rupanya yang memitingnya waktu itu adalah Zen.
    “Kemudian aku kembali lagi ke sini, untuk meyakinkan diri bahwa kau tidak pergi kemana-mana, juga untuk memastikan bahwa tidak mungkin ada dua orang yang begitu mirip kecuali kembar, dan akhirnya aku mendapat kesempatan untuk melihat bekas luka yang dulu pernah kau tunjukkan padaku, yang ternyata tidak ada pada tempat seharusnya ia berada. Bekas luka itu terlalu tersembunyi untuk dilihat orang, dan kelihatannya Erica lalai—atau tidak mengetahui kau punya bekas luka—sehingga tidak membuatnya pada tiruanmu. Saat itulah aku tahu, Bert telah mengatakan kebenaran.
    “Aku tidak bisa memberitahu orang tuamu. Pertama, karena akan menimbulkan kehebohan. Yang kedua, karena yang berbuat adalah Erica, dan aku takut ia akan mencelakakanmu kalau ini terbongkar. Satu hal yang pasti, seseorang yang amat mirip denganmu ada di Elgamb, du negeriku sendiri. Maka, diam-diam aku mencarinya,”
    Zen berhenti sebentar untuk menatap Regia, yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
    “Pasukan Arta telah mencium keberadaanmudi Desa Emit, dan ketika aku disana, sudah terlambat. Kau sudah ditawan oleh mereka.sehingga aku tak punya pilihan lain selain ‘merebutmu’. Selanjutnya kau tahu, kita berteman. Tak bisa kuungkapkan bagaimana rasanya menemukanmu kembali. Apalagi setelah aku melihat bekas luka di kakimu waktu kau tidur, yang meyakinkanku bahwa kau Regia yang asli.”
    Zen berhenti bicara.
    Ganti Regia bertanya padanya, “Kenapa kau tidak bilang bahwa kau tahu siapa aku? Aku telah mempertaruhkan nyawa untuk mengetahui masa laluku...”
    “Karena, kau tidak mengenaliku. Kau terlihat seperti sedah mengalami kehidupan berbeda, dan aku ingin tahu mengapa kau tidak menemuiku padahal kau di Elgamb. Aku sama sekali tidak mngetahui bahwa kau hilang ingatan, meskipun aku tahu Mio adalah Nina,” jawab Zen.
    Regia terdiam, berusaha mencerna kata-kata Zen. Ia merasa konyol sendiri, mengejar-ngejar Mario dengan taruhan nyawa, untuk memperoleh kembali ingatannya, padahal semuanya ada pada Zen yang dengan mudah bisa menceritakan semua padanya kalau mau. Ia teringat malam ketika Dios kembali setelah menghilang. Rupanya Dios memergoki Zen yang sedang melihat bekas lukanya. Sungguh beruntung dulu ia menunjukkan bekas luka itu pada Zen—walau tujuannya waktu itu untuk membuat Zen berbalik tidak menyukainya.
    “Harusnya kau bilang..., ujar Regia lirih. “Kenapa kau tidak bilang...?”
    “Aku ingin kau menerimaku karena kepribadianku, bukan karena aku tunanganmu. Kita harus lebih saling mengenal...”
    “Itu ‘kan bisa kita lakukan setelah ingatanku kembali!” kata Regia keras. “Tapi, kenapa...?”
    “Lalu, aku harus bagaimana?” sahut Zen dengan nada suara lebih tinggi. “Aku telah kehilangan tunanganku, lalu setelah bersusah payah mencarinya aku menemukannya di tangan laki-laki lain!”
    “Apa maksudmu?”
    “Aku membicarakan Dios.”
    Hati Regia mengerut lagi. Mengapa semua pembicaraan ini berujung pada Dios? Kenapa tak ada yang menyadari kalau ia tak ingin membicarakan dia? Terdiam beberapa saat, Regia menyadari, ada suatu hal yang ingin diketahuinya.
    “Apa yang terjadi setelah aku pingsan, Zen? Kau berada di sana, ‘kan?” desaknya. “Mengapa Dios pergi?”
    “Aku mengatakan padanya siapa kau sebenarnya,” jawab Zen, menerawang sejenak. “Dios pergi karena aku menyuruhnya.”
    “Kau..—apa...?! kenapa kau melakukannya?!” tanpa sadar Regia terpekik kaget.
    “Aku melakukannya karena aku mencintaimu, Regia. Maafkan aku, tapi semua laki-kali pasti akan melakukan hal yang sama,” kata Zen lugas. “Harus kuakui bahwa Dios sportif. Ia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.”
    Regia telaihat bingung sehingga Zen memegang tangannya dengan sungguh-sungguh, “Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan dia?”
    Regia malah bertambah bingung. Zen benar. Sebenarnya meman tidak ada apa-apa yang terjadi antara dia dan Dios. Mungkin ia hanya terjebak perasaannya sendiri....
    “Dios tidak pernah menjanjikan apa-apa padaku...”
    Wajah Zen berubah cerah. “Sungguh?”
    Regia mengangguk.
    “Baguslah kalau begitu,” kata Zen lega. “Nah, sebaiknya aku pulang sekarang. Sampai ketemu... lusa.”
    Setelah Zen pergi, Regia masih duduk di sana, diliputi perasaan yang sukar dijelaskan.
                                                                   *    *    *

    Memandangi bayangannya sendiri di cermin, Regia mengerti apa yang tadi dikatakan Nina sepuluh menit yang  lalu, bahwa pengantin yang satu ini sempurna dalam banyak hal, kecuali senyum. Entah mengapa hal semudah tersenyum menjadi hal yang sulit sekali dilakukannya hari ini. Ia mencoba menarik sudut-sudut bibirnya, tetapihasilnya lebih mirip meringis daripada tersenyum. Ah, sudahlah, batinnya.
    Bayangan Bbibi Montella muncul di cermin. Ia memakai gaun yang terbaik, seperti biasa ia terlihat amat rapih.
    “Kau cantik sekali,” kata Bibi Montella, membetulkan letak mahkota mungil yang dipasang indah di kepala Regia.
    “Ah, Bibi....”
    “Rasanya beru kemarin kau belajar berjalan,” kata Bibi Montella, berlinang ai mata. “Tahu-tahu tiba juga saat aku harus melepasmu. Pangeran Zen adalah orang yang sangat baik, Nak. Ia akan menjagamu seumur hidupnya.”
    Regia tak tahu harus berkata apa. Bibi Montella benar. Tak ada yang salah dengan Zen, perasaannyalah yang salah. Setelah Nina muncul kemudian, mengatakan ‘tiba waktuny’. Regia berusaha berjalan di samping Bibi Montella dengan senyum terpasang. Nina mengikuti mereka, tampak jauh lebih bahagia daripada pengantinnya sendiri.
    Ketika menyusuri barisan orang di sepanjang lorong menuju Aula Besar tempat kedua orang tuanya dan Zen sudah berada, Regia merenungkan kembali hal yang dilakukannya ini. apakah salah ia dulu menerima begitu saja pertunangannya dengan Zen? Kalau tidak yain ddengan hatinya sendiri, apa yang harus dilakukannya? Sudah terlambatkah kalau ia mundur sekarang? Tetapi, kalau ia mundur, hubungan bai Tribiald-Elgamb yang selama ini terjalin terancam bubar. Ia tidak mau mengorbankan rakyatnya kelak, juga rakyat Elgamb yang sedikit banyak sudah dikenalnya. Regia menenangkan hatinya. Ia sekali lagi mengingatkan dirinya bahwa Zen sangnat baik. Mungkin ia akan belajar mencintainya kelak.
    Pintu Aula Besar terpentang lebar. Di ujung seberang, di atas singgasana, orang tuanya tersenyum. Zen juga ada di sana, terlihat sangat bahagia. Orang-orang yang hadir bertepuk tangan ketika ia melangkah masuk, berjalan di atas ribuan kelopak bunga berwarna ungu—warna Tribiald—yang ditebar sepanjang lorong menuju singgasana.
    Mereka akan mengadakan upacara sekarang. Zen akan meminta Regia pada orang tuanya. Regia sadar, setelah upacara ini, ia akan menjadi Milik Zen sepenuhnya. Tetapi, mengapa ia malah merasa takut? Bukankah ia sendiri yakin kalau Zen tak akan pernah menyakitinya?
    Kid berdiri di deretan paling depan, nyengir lebar, tampak aneh dalam pakaian resmi Tribiald yang khusus dijahit untuknya.
    Regia membalas senyumnya sekilas. Seharusnya Dainty juga hadir, tetapi ia mengatakan luka-lukanya masih terasa sakit, dan ia tidak bisa bertahan selama upacara berlangsung. Dainty mengucapkan selamat, tetapi entah mengapa Regia menangkap kesedihan yang janggal dalam nada suaranya. Arta—atau tepatnya Raja Eluan XVI—ikut hadir pula.
    Zen tersenyum, meraih tangan Regia, dan mereka berdua duduk berlutut di atas bantal di singgasana. Seorang laki-laki tua berjubah tebal memimpin manusia.
    “Hari ini kita berkumpul untuk menghadiri pernikahan antara Fratier Zen dab Regia Vien al Tribiald. Silakan nyala api.”
    Masih berpegangan dengan Zen, Regia menerima sebatang lilin berhias yang kemudian dinyalakan oleh seseorang. Zen menoleh padanya, lilinnya sudah menyala dengan asap berbau harum.
    Regia menatap lilin yang di pegangnya di depan dada. Nyala api lilin memantul dari kristal Zauri yang tergantung di lehernya, membuatnya berkilau indah. Kristal yang membuatnya memulai pertulangan itu..., membuatnya bertemu dengan Dios...
    “Api telah dinyalakan, mari kita berdoa...”
    Menatap kristal itu, ia tahu apa yang telah hilang darinya. Ia tidak ingin meikah dengan Zen karena ia takut. Ia takut karena ia telah yakin pada satu hal yang semakin terlihat jelas. Dios sudah memiliki hatinya, dan telah membawanya pergi....
    “Regia?”
    Regia tersentak ketika Zen menghapus air mata di pipinya.
    “Ada apa?”
    Tersenyum, Regia menggeleng, lalu melihat ke arah depan, bersaha memusatkan konsenterasi.  Sekarang sudah terlambat untuk memutar arah. Sudah terlanjur sejauh ini. baik ayah maupun ibunya terlihat heran, sementara beberapa orang mulai berbisik-bisik.
    “Ehem...,” lelaki tua pemimpin upavcara berdeham. “Kita lanjutkan. Nah, Zen, silakan meminta Regia pada orang tuanya agar ia bisa mendampingimu, erjanjilah untuk senantiasa menjaganya dalam keadaan apa pun.”
    Zen bergeming.
    “Zen?”
    Kembali orang-orang mulai berbisik karena Zen tetap mematung. Regia merasa heran. Apa yang ditunggu oleh Zen?
    Perlahan, Zen meniup lilinnya. Diletakkannya di lantai. Kemudian, diambilnya lilin di tangan Regia, yang mengalami nasib yang sama dengan lilin yang oertama. Setelah menghela napas, tampak berusaha menguatkan diri, Zen berkata, pelan tapi jelas.
    “Regia, aku tidak bisa menikahimu.”
    “Apa?”
    Regia mengerjap bingung.
    “Aku ingin mendampingimu, memilikimu. Tapi, aku tak akan melakukannya kalau dengan demikian kau tidak bahagia.”
    Regia hampir tidak memercayai pendengarannya sendiri.
    “Zen, aku...—“
    “Shh..., jangan bicara lagi. Sekarang, pergilah, cari dia.”
    Menatap matanya, Regia tahu Zen bersungguh-sungguh. Ia merasakan kehangatan menyelinap dalam hatinya. Harapannya timbul kembali.
    “Zen, terima kasih...”
    Zen tersenyum. “Pergilah. Aku berdoa untukmu.”
    Tanpa pikir panjang lagi, Regia bangkit, lalu berlari ke arah pintu. Kemudian, ia teringat sesuatu. Mungkin..., kalau dugaannya tidak krliru....
    “Zen!” serunya. “Temuilah Danty!”
    Zen kelihatan heran, tapi kemudian berkata, “Baiklah!”
    Regia berpaling dengan lega.
    Tidak memedulikan suasana yang mulai gaduh, Regia berlari ke luar istana, menuju kebebasannya. Untungnya semua orang sedang sangat terkejut sehingga tak ada yang sempat berpikir untuk menahan kepergiannya.
                                                              *   *   *
    Dan, kemudian, di luar gerbang istana, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya melonjak kegirangan.
    Mayorka, dengan gaun pesta warna-warni berlapis-lapis yang terurai ke tanah sampai beberapa meter panjangnya, jatuh berdebam dari fusan-nya. Ia langsung bangkit dan—seperti biasa—memaki Bruna yang masih duduk dengan tampang beloon di dalam fusan.
    “Dasar bodoh!” pekiknya mengimeli. “Sudah tahu kita terlambat, kenapa kau injak gaunku!”
    “Bukannya lau jatuh sendiri, Bos...? Aduh!”
    “Ayo, turun! Apa perlu kau kuseret dulu?!” ancam Mayorka, yang tentu saja mustahil bisa benar-benar dilakukannya, tetapi Bruno toh turun juga.
    Regia bergegas menghampiri mereka, membuat Mayorka terpekik kaget.
    “Aaah! Lho.., ap...—apa...., bukannya...—Kenapa kau ada di sini?!” teriak Mayorka gagap, telunjuknya menunjuk-nunjuk tak jelas ke arah istana.
    “Kau terlambat juga?” tanya Bruni bodoh.
    Melepas mahkotanya, Regia memberikannya pada Mayorka, yang masih ternganga. Ia sendiri melompat ke dalam fusan.
    “Untukmu, sebagai ganti fusan ini!” teriaknya pada Mayorka. “Ke mana arah menuju Elgamb?”
    Mayorka, masih kebingungan, menuju ke arah barat daya, dan Regia lantas melesat ke sana. Fusan itu masih selincah yang diingatnya, dan ia mengendarainya dengan senang hati. Ia akan menemui Dios sekarang! Ia yakin, Dios ada di sana...!
    Belum pernah ia mengendarai fusan secepat itu. Regia merasa begitu bebas, tanpa terasa fusan telah melewati perbatasan Elgamb-Tribiald. Ia teerbang di atas Arian sekarang. Istana Elgamb yang runtuk sudah mulai utuh; para pekerja masih membangunnya. Kota pun sedang diperbaiki di sana-sini.
    Kemudian, ia melihat lembah Arian, yang kini berwarna kuning, penuh bunga loufil mungil yang sedang mekar. Dari lembah ini Regia berputak ke arah barat. Desa Emit, tujuan berikutnya, semakin lama semakin dekat, dan akhir nya ia bisa melihat rumah-rumah yang berdiri berjauhan satu sama lain. Sekilas tadi ia melihat hutan mungil dengan kilau-kilau cahaya di dalamnya. Itu pasti Hutan Perspero, tempat tinggal para peri. Apakah mereka mengetahui Mio sekarang bukan peri lagi? ataulah, mereka sudah mengetahui sejak dulu? Regia melambatkan laju fusan.
    Dilihatnya padang rumpur di atas tebing itu, tempat kuburan orang tua Dios berada. Padang itu lengang. Regia merasa heran. Tadinya ia yakin sekali Dios ada di situ, entah berlatih lagi, atau mungkin cuma duduk melamun, atau apalah. Penasaran, Regia mndaratkan fusan dan menghampiri kedua nisan yang ditumbuhi rerumputan dan berlumut, tampak sudah lama tidak diurus. Kalau Dios tidak ada di sini, ke mana dia? Ia berdiri di bawah pohon, menatap pemandangan Desa Emit di bawahnya, sementara angin bertiup mengibaskan gaunnya. Mungkin Dios kembali ke rumahnya.
    Begegas ia naik ke atas fusan, menuruni tebing curam itu. Rumah Dios, terletak paling ujung, dengan mudah dicapainya. Setelah memarkir fusan di halaman, Regia menghambur ke dalam rumah.
    “Dios! Dios!”
    “Tetapi, rumah itu kosong. Keadaannya sama persis dengan ketika mereka meninggalkannya dulu. Cangkir-cangkir kotor malah masih ada di atas meja, belum dibereskan sama sekali, menandakan tak ada orang di situ selama lebih dari tiga minggu terakhir ini.
    Dalam keadaan bingung, Regia berlari ke rumah Nenek Luina, siapa tahu Dios ada di sana. Tetapi, rumah Nenek juga kosong. Regia bahkan bertanya pada penduduk desa. Ternyata, terakhir keli mereka melihat Dios adalah pada hari ketika cahaya merah terlihat di Gizmoa. Sama sekali tak ada tanda-tanda Dios di desa ini!
    Regia teringat, Dios terluka parah dalam pertempuran melawan Mario dan Erica. Bahkan, tangannya pun terbakar hebat. Apakah Dios tidak bisa bertahan dan sekarang telah...—tidak, tidak! Regia menggelengkan kepala keras-keras, berusaha menyingkirkan bayangan mengerikan itu dari pikirannya. Ia berlari kembali ke fusan. Kalaupun kekhawatirannya keyataan, pasti ada bukti kalau Dios sudah meninggal. Mungkin tubuhnya, atau pedangnya..., di suatu tempat..., mungkin di tengah Hutan Gizmoa...
    Menghapus bulir air mata yang mulai muncul di sudut matanya, Regia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Kemudian, sambil bertekad untuk tetap tabah, ia berangkat ke Gizmoa.
    Sudah lewat tengah hari ketika Regia sampai di Gizmoa. Bergegas ia menuju bagian hutan yang sekarang terbuka, tempat pertempuran itu terjadi. Tempat itu kosong. Yang ada hanya batang-batang pohon yang tumbang, memberi Regia tampat untuk mendaratkan fusan. Regia turun dari fusan, berjalan menuju sungai tempat dulu  pernah berkaca. Kali ini bayangannya tanpa kristal di dahi. Hutan Gizmoa terlalu berbahaya untuk dilalui dengan berjalan kaki kalau sendirian. Maka, Regia kembali ke fusan.
    Regia menghabiskan siang itu dengan berputar-putar di dalam hutan—sejauh yang ia mampu—mencari tanda-tanda keberadaan Dios. Betapa mengherankan bahwa binatang-binatang buas di Gizmoa ternyata telah menghilang, seakan tewasnya Mario dan Erica membuat mereka sirna begitu saja.
    Tak ada tanda-tanda Dios sama sekali. Apakah arugis-arugis itu telah memangsanya habis? Ataukah, ia sudah ditelan bubaglop raksasa tanpa sempat melawan? Regia benci mengakui hal ini, tetapi kelihatannya Dios benar-benar sudah....
    Matahari sudah tergelincir di ufuk barat ketika akhirnya Regia menyerah. Ia melayang di atas Gizmoa, berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya kemudian. Pulang ke Tribiald terlalu jauh. Tetapi, ia pun enggan menginap di Desa Emit karena akan membuatnya semakin dekat dari situ. Lagi pula, ia berminat meneruskan pencarian esok pagi. Maka, dibawanya fusan melintasi padang rumput amat luas itu, yang kini berwarna keemasan terkena sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di balik bebukitan.
    Tiba-tiba, Regia melihatnya!
    Berdiri di antara rumput-rumput yang tinggi, dengan tangan kanan terbalut, memandangi matahari senja. Regia hempir tak mempercayai penglihatannya. Tak salah lagi, itu dia!
    Dios menoleh ketika Regia mendaratkan fusan sembarangan, melompat keluar, dan berlari ke arahnya. Sorot matanya heran bercampur tidak percaya ketika Regia menghambur padanya. Selang beberapa saat, yang bergerak hanya rerumputan yang tertiup angin. Pelukan mereka begitu erat.
    Akhirnya, Dios berkata, “Kenapa kau ada di sini? Apa yang kau lakukan di sini?”
    “Aku mencarimu...”
    Dios menatap Regia, langsung di matanya.
    “Mencariku? Tapi, ini hari pernikahanmu, ‘kan?”
    Ganti Regia yang heran. “Dari mana kau tahu? Bukankah...—“
    “Tak ada orang Elgamb yang tidak tahu Putri Regia dari Tribiald.”
    “Aku lebih suka kau memanggilku Kayla.”
    Dios tersenyum sekilas.
    “Zen melepasku. Kami tidak terikat lagi.”
    Senyum Dios lenyap. “Apa yang terjadi?”
    “Sejak awal aku tidak menginginkan pertunangan itu. Aku mencari cinta sejatiku, Dios. Dan, Zen tidak bisa memilikiku.”
    “Kenapa?”
    “Karena..., sudah kukatakan padamu, ‘kan..., aku tidak bisa meninggalkanmu.”
    Dios menatap Regia, kemudian berkata perlahan, nyaris berbisik, “Namamu selalu mengalir dalam darahku....”
    Regia terpaku, nyaris tidak percaya pada yang baru saja dikatakan Dios. Tetapi, mata Dios menyiratkan kebenaran, Regia tahu Dios tidak berbohong.
    “Telingaku terus-menerus mendengar suaramu...,”
    “Dios...”
    “Dan, ke mana pun pergi aku melihatmu....”
    Regia tidak bisa membendung lagi air matanya. Kata-kata Dios menghangatkan hatinya, ia merasa amat lega karena Dios merasakan hal yang sama.
    “Kau menangis lagi,” kata Dios.
    “Oh! Maaf...—“ Regia buru-buru menyeka pipinya. “Aku lupa kau tidak suka kalau ada yang menangis di dekatmu, membatmu kelihatan lemah.”
    “Bukan. Kau keliru...,” sahut Dios. “Aku tidak suka kalau kau yang menangis. Tangisanmu membuatku merasa tidak berdaya karena tidak bisa melindungimu dari apa  pun yan membuatmu menangis. Sejak pertama melihatmu, aku sudah ingin melindungimu.”
    Regia bingung mendengarnya. “Apa maksudmu?”
    “Seorang gadis, tidak bersenjata dan hanya di temani peri, nekat masuk ke sarang aloft hanya untuk menginap. Bagaimana aku tidak khawatir?”
    “Kau...—kau mengawasi aku waktu itu?!”
    “Kalau kau mendongak, kau bisa melihatku,” jawab Dios. “Aku ada di atas pohon waktu itu.
    Dios menungguinya di atas pohon? Kalau begitu, meskipun belum pernah bertemu sebelumnya, ia semalaman menjaga Regia karena aloft itu baru datang keesokan paginya. Setelah beberapa saat hanyut dalam haru, sesuatu terlintas, membuatnya tertawa geli.
    “Apa?” tanya Dios heran. “Ada apa?”
    “Akhirnya kau mengakuinya!”
    Alis Dios bertaut. “Mengakui apa?”
    “Kau memang berniat menolongku waktu itu!”
    Dios yang kemudian mengerti maksud Regia, ikut tertawa juga.
    Sementara itu, matahari hampir menghilang. Langit yang berwarna biru galap, lembayung, dan emas yang memiringi jejaknya dengan anggun.regia menatap pemandangan itu, terpesona.
    “Indah sekali,” desahnya. “Ini kedua kalinya kita melihat matahari terbenam di sini, ‘kan?”
    “Matahari terbit di sini jauh lebih indah,” kata Dios, tersenyum pada Regia. “Mau melihatnya bersamaku?”
    Regia mengangguk.
    Sang penguasa siang telah menarik rapat kelambu malamnya, kemudian beristirahat sampai tiba waktunya bersinar lagi esok pagi. Hanya angin sepoi yang tinggak untuk menemani padang rumput itu.








bagus deh ceritanya dijaminn :D Zauri banget deh♥

Senin, 07 Mei 2012

Favorite Part of "Zauri" #3

Di bab ini, Dian K, sang pengarang novel ‘Zauri’ ini  menceritakan bahwa Dios melawan kakaknya sendiri—Mario—dan melawan Erica, yang akan melaksanakan niat buruknya itu. Dan pada akhir bagian dijelaskan salah satu diantaranya akan mati. Siapakah itu?



BAB 16—API DAN ES—

Hari sudah hampir gelap ketika mereka tiba di tepi sungai. Sudah hampir dua jam mereka mencari, tetapi belum juga ketemu.
    “Dios, apakah orang berkerudung yang menghilang tadi adalah Mario?”
    “Bukan. Dari suaranya jelas ia adalah seorang wanita,” jawab Dios sambil turun dari mohaz. “Kita harus memberi kesempatan mohaz ini untuk beristirahat, ia sudah hampir kehabisan napas.”
    Kayla melompat turun. Diperhatikannya Dios membawa mohaz itu ke sungai untuk minum. Memandang berkeliling, Kayla memperhatikan tempat itu, rerumputan yang tebal, pepohonan yang rimbun, gemercik air, mengingatkannya pada sesuatu...
    “Dios!” panggil Kayla. “Kau tahu tidak?”
    “Apa?”
    “Ini tempat pertama kali kita bertemu!” sahut Kayla riang.
    Dios melayangkan pandangan ke sekitar, mengingat-ingat.
    “Kau benar,” katanya. Dihampirinya Kayla.
    “Kau ingat tidak, kau mencucui pedangmu disini, lalu di sebelah sana...—“
    BLAR! Tempat yang ditunjuk Kayla terbakar dengan suara letusan keras.
    “A...—apa itu?” terundur karena terkejut, Kayla menoleh pada Dios, yang memegang erat pedangnya. Tiba-tiba, sebuah suara terdengar.
    “Wah..., wah..., kalian sedang kencan upanya. Manis sekali. Sayangnya, ini mungkin kencan terakhir kalian!”
    Wajah Dios menegang.
    “Mario! Di mana kau? Ayo, keluar!”
    “Keluar?” jawab Mario, tertawa mengejek. “Tapi, aku tak pernah bersembunyi, Adikku. Apa kau pikir aku pengecut?”
    Mario muncul dari kegelapan, tampak mirip dengan Dios. Dari seluruh tubuhya berpendar cahaya aneh.
    “Harus kuakui, kau lebih baik daripada yang kukira. Tak disangka kau bisa meloloskan diri dari letusan Gunung Ner.”
    “Apa yang kau lakukan pada Raja?”
    “Oh,” jawab Mario mengibaskan tangan meremehkan. “”Raja Eluan tidak mau bekerja sama denganku—lagi pula aku tidak begitu berminat padanya. Jadi, aku menghukumnya.”
    “Menghukumnya?! Kau membunuhnya!”
    “Apa boleh buat?” Mario maju beberapa langkah. “Sebentar lagi aku akan jadi penguasa Elgamb yang baru, jadi aku harus mengadakan perombakan besar-besaran. Sayangnya, anak-anaknya lolos, bahkan Jort pun terpaksa kuhabisi sebelum membocorkan rahasia. Tak apalah, mereka berdua akan mati juga akhirnya.”
    “Lalu, udara panas itu? Apa maksudmu sebenarnya?” geram Dios.
    Mario berjalan ke arah mohaz yang masih minum dengan tenangnya.
    “Rupanya kau sudah melihat hasil karyaku. Bagaimana? Apa kau menyukainya?” jawab Mario sambi tertawa.
    Dios Cuma menatapnya tajam.
    “Hm. Sepertinya kau tidak meyukainya. Tapi, aku akan mengadakan pesta keberhasilan. Bagaimana kalau kutraktir makan daging panggang? Kujamin rasanya enak!”
    Mario menusukkan pedangnya pada mohaz Dios, yang langsung, meronta-ronta, menguik-nguik kesakitan memilukan hati. Kayla terpekik karena kaget, dan Dios langsung mengambil tempat di depan Kayla untuk berjaga-jaga.
    Mohaz yang ditusuk Mario tidak berumur panjang. Di tengah kuikkannya yang semakin keras, tiba-tiba saja mohaz itu terbakar api yang besar, menghentikan semua tanda-tanda kehidupan darinya. Ketika api padam, mohaz itu sudah mati.
    “Nah, dagingnya sudah matang. Kau mau bagian yang mana?” Mario menawarkankan dengan ramah.
    “Makan saja sendiri!” jawab Dios jijik. “Aku datang untuk menghentikanmu!”
    “Kau? Menghentikanku?” Mario tertawa terbahak-bahak.
    “Kau keterlaluan, Mario! Kerusakan yang kauperbuat sudah cukup banyak, sekarang apalagi yang kau inginkan?”
    “Sudah kubilang, aku akan jadi penguasa yang baru!” teriak Mario, ekspresinya berubah tidak mengolok-olok Dios lagi. “Tapi, aku tak punya jabatan untukmu, Adikku. Kau akan menyulitkanku di masa mendatang. Jadi, maaf saja, aku lebih suka menghabisimu!”
    Mario mengayunkan pedangnya, yang langsung ditangkis Dios yang berteriak menyuruh Kayla minggir. Kayla menyingkir menjauh, didampingi oleh Mio. Aduh, bodoh sekali ia tidak membawa senajata! Dengan camas diperhatikannya pertarungan antara kakak beradik itu dari pinggir.
    Mario sangat hebat. Cepat dan tangguh. Hampir setiap sabetan pedangnya menuju bagian-bagian yang vital. Sejauh ini yang bisa Dios lakukan hanya menangkisnya, itupun sudah merupakan prestasi tersendiri karena mengimbangi Mario sungguhlaj sulit. Secara teknis Mario lebih unggul, tetapi Dios tidak mau menyerah begitu saja. Kayla sangat khawatir, apakah Dios bisa mengalahkannya?
    Dios bergulung untuk menghindari tikaman Mario, kemudian langsung berdiri untuk mengatur napas.
    “Hanya itu yang kau bisa?” tawa Mario. “Kukira kau lebih baik dari ini!”
    “Katakan, Mario,” kata Dios, mengangkat pedangnya didepan dada. “Kenapa kau membunuh Nenek Luina?”
    “Sayang sekali, kau salah alamat, Doios,” jawab Mario santai. “Orang lain yang melakukannya.”
    “Bohong!”
    “Hanya para pengecut yang suka berbohong. Atau, kau memang biasa melakukannya? Ck! Rendah sekali!”
    Kabut tebal muncul dari tebasan Endymion, begitu dinginnya sehingga bunga-bunga es muncul di pucuk-pucuk rerumputan. Saat Kayla mengura Mario akan membeku, tetapi kemudian lidah api muncul dai telapak tangannya.
    “Untuk apa kau melakukan itu?” teriak Mario mengejek. “Apa kau sudah lupa aku menguasai Api?”
    Api menghanguskan rerumputan dalam sebuah garis lurus ke arah Dios, membuatnya melompat menghindar. Mario melancarkan serangan apinya bertubi-tubi sehingga beberapa saat Dios hanya bisa menghindar. Beberapa kali lidah api membakar kulitnya.
    “Nah, bagaimana sekarang? Apa kau sudah cukup hangus?”
    Mario menghentikan serangannya sejenak. Kelihatannya ia sudah kehilangan cukup banyak energi karena ia terlihat tersengal, tetapi keadaan Dios jauh lebih buruk darinya. Beberapa bagian tubuhnya merah terbakar.
    “Ck! Kau masih bisa berdiri! Mengalahkanmu ternyata memakan waktu. Harus kuakui, kau pantas menjadi adikku. Sayang, kau harus mati!”
    Lima sabit perak berkelebat. Mario sangat terkejut hampir terlambat menghindar, tetapi sabit-sabit itu berhasil merobek ujung pakaiannya dan menggores pipinya.
    Dua bersaudara itu berdiri berhadapan, saling menatao tajam. Dios berdiri diam dengan pedang menyilang di depan dada. Keadaan ditempat itu berantakan. Beberapa pohon rubuh terhantam sabit perak; sebagian rumput hangus berasap dan di beberapa tempat justru beku. Pemandangan yang aneh. Mengabaikan dariah yang menetes dipipinya, Mario memandang adiknya.
    “Lumayan, Dios. Apa ayah yang mengajarimu?” tanya Mario dingin.
    “Aku belajar sendiri.”
    “Boleh juga kau. Tapi aku ingin kau mencicipi bola apiku,” sahut Mario.
    Tangan kirinya terangkat seinggi dada, telapaknya menghadap ke langit. Perlahan, terbentuk di atas tangannya, bola api yang semakin lama semakin besar dan bercahaya.
    Dios bergeming.
    “Aku ingin kau jujur, Mario,: kata dios, pedangnya masih menyilang di depan dada. “Apa kau mencintai ayah dan ibu?”
    Alis Mario bertaut mendengar pertanyaan Dios. “Pertanyaan bodoh!”
    “Ayo, jawab!”
    Sebagai jawaban, Mario melempar bola apinya. Endymion berkelebat dan muncullah sabit perak yang besar, menyambut bola ap itu. Keduanya bertabrakan.
    Sebuah ledakan yang amat keras terdengar ke seantero huta. Sebagai akibat ledakan itu, percikan api dan potongan es terpencar ke segala arah, di sertai energi yang cukup untuk membakar tempat itu dan menghantam pohon-pohon sampai hancur. Mario dan Dios terpental, sementara Kayla bersyukur masih sempat meraih Mio sebelum menjatuhkan diri ke tanah.
    Selama beberapa saat tempat itu disesaki oleh asap yang berasal oleh api dan kabut dingin yang di akibatkan oleh sabit perak. Terbatuk-batuk karena paru-parunya yang sesak, Kayla bangkit dan berusaha melihat apa yang terjadi pada Dios. Dios berlutut, bertumpu pada Endymion, tersengal dan beberapa bagian tubuhnya menghitam. Keadaan Mario tidak lebih baik, lengannya terkula, bajunya robek besar, dan ada tanda memar di dadanya. Perisai Elgamb entah terlempar kemana.
    “Kau belum menawab pertanyaanku, Mario,” Dios berkata dingin.
    “Mereka menghalangi jalanku,” desis Mario penuh kebencian. “Mereka pantas menerimanya!”
     Dios memejamkan mata mendengar jawaban Mario, merasa sedih dan pedih.
    “Kalau begitu, aku tak bisa memaafkanmu. Akan ku kejar kau sampai kapan pun!”
     Kemudian, secepat kilat, Dios mengirimkan kabut es ke arah Mario, yang mencoba menangkis dengan apinya., tetapi terlambat. Mario terbanting, jatuh terlentang di tanah.
    Tidak menyia-nyiakan waktu sedetikpun, Dios melompat ke atas Mario, dengan Endymion di leher kakaknya itu. Mario tersentak karena menyadari Dios berhasil mengunggulinya.
    “Ayo, tusuk!” tantang Mario, menyeringai. “Kau tak mampu malakukannya!”
    “Siapa bilang?!” bantah Dios, namun tak urung ia ragu juga. Bagaimanapun, mario adalah kakaknya. Tegakah ia menghabisi satu-satunya orang yabg sedarah daging dengannya? Di sisi lain, kalau Mario dibiarkan hidup, dunia ini akan terancam.
    “Kau tak akan bisa Dios!” ejek Mario kemudian. “Kau terlalu pengecut untuk membunuhku!”
    Dios terdiam. Di dalam hatinya berkecamuk dua pilihan yang sama beratnya. Kayla yang melihat dari jauh, berdiri dengan hati berdebar.
    Dan, Mario melihatnya.
    “Kau tahu, aku bisa mengajarimu cara membunuh yang baik,” kata Mario, tersenyum kejam.
    Dios terperangah. Mario berada di bawah ancaman pedangnya, bagaiman bisa...
    Tangan Mario bergerak sedikit ke arah Kayla, namun akibatnya mengejutkan. Kayla terangkat dari tanah!
    “A...—apa ini?” Kayla berseru keheranan, menendang-nendang udara di bawahnya sia-sia. “Turunkan aku!”
    Dios terpana melihat Kayla meronta-ronta di udara. Ia berpaling pada Mario, mencoba membuatnya menurunkan Kayla.
    “Apa yang kau lakukan? Jangan ganggu dia!”
    Mario tertawa senang. “Ah, rupanya kau tak mau kehilangan dia! Apa dia sangat berarti bagimu?”
    “Turunkan dia!” bentak Dios geram. Pedangnya makin  dalam mengancam leher Mario, tetapi Mario hanya tertawa.
    “Kau sudah kalah, Dios. Untuk membunuh kau tidak boleh punta nurani, dank au jelas gagal pada ujian! Sekarang lihatlah baik-baik, beginilah cara yang benar untuk menghabisi seseorang!”
    Kata-kata Mario membuat Dios merasa ngeri, apalagi karena sedetik kemudian Kayla menjerit keras sekali. Cepat ia berpaling ke arah Kayla.
    Segumpal api yang besar membakar Kayla, persis seperti yangterjadi pada mohaz tadi awalnya, Kayla tersengat rasa panas, tetapi anehnya kemudian rasa panas itu menhhilang, ia hanya medasa hangat. Tetapi, ia tidak bias bernapas, dan sesaklah yang mencekik lehernya. Api telah mengisap habis udara di sekitarnya. Megap-megao, Kayla mengapai-gapai dengan kedua tangannya. Sia-sia. Mio pun sama sekali tak bias mendekat.
    Tanpa piker panjang laggi Dios melepas Mario, lalu berlari ke arah Kayla sambil mengerahkan energinya untuk mengeluarkan kabut es. Sapuan udara dingin seketika memadamkan api yang menyelimuti Kayla. Kemudia, ia terjatuh ke tanah. Terbatuk, Kayla berusaha mengisi paru-parunya dengan udara segar, dan samar-samar dilihatnya Mio dengan wajah khawatir.
    “Kayla! Kau tidak ap…—AARGH!”
    Dios yang sedang menghampiri Kayla tiba-tiba berteriak kesakitan. Mario telah membuat semacam cambuk api, melilit erat tangan kanan Dios. Endymion terlepas dari tangannya. Ketika akhirnya cambuk itu lenyap, Dios berlutut di  tanah memegangi tangannya yang perih.
    Merasa lega setelah akhirnya bias bernapas lagi, Kayla membuka matanya dan mendapati Dios berlutut dengan tangan kanan yang hitam terbakar.
    “Dios? Kenapa tanganmu…?”
    “Kau sudah menyia-nyiakan kesempatan, Dios!” teriak Mario membahana. “Kau terlalu pengecut untuk membunuhku, dan sekarang, lihatlah apa yang bias ku lakukan sementara kau tidak bisa!”
    Mario berjalan melewati Dios, menuju Kayla yang mundur ketakutan. Mario terlihat begitu menakutkan dengan matanya yang menyorot tajam pada Kayla. Pedangnya terhunus dan siap mencabiknya jadi serpihan!
    Kayla kehilangan keberanian entah kenapa ia tidak berdaya. Ketika punggungnya menyentuh batang pohon, Kayla tahu waktunya seudah habis. Ia memejamkan mata tepat pada saat Mario mengangkat pedangnya. Selamat tinggal…
    “Ugh!”
     Kayla membuka mata dan mendapatii Mario terpaku dengan mata membelak, tepat di depannya. Ia semakin heran ketika pedang yang berwarna merah itu terlepas dari tanga Mario dan jatuh ke tanah dengan suara berat. Setelah ia melihat sabit perak menancap di punggung Mario, mengucurkan darah, barulah ia tahu apa yang terjadi.
    Dios berdiri terengah di kejauhan. Rupanya, ia berhasil melepas sabit perak dengan tangan kirinya. Tetapi, kelihatannya Dios telah mengerahkan seluruh tenaganyayang tersisa, karena kemudian ia roboh. Melihatnya, Kayla merasa khawatir sekaligus lega.
    Tetapi, ketika melihat lagi ke arah Mario, ia tahu bahwa ini semua belum berakhir. Sabit perak itu berasap! Ketakutan, Kayla menyingkir. Tiba-tiba, dalam satu letupan, segumpal api muncul dan membakar habis sabit perak itu sampai menguap, kemudian perlahan Mario bangkit lagi.
    “Oh, tidak…!” bisik Kayla, gemetar.
    “Kayla, cepat pergi dari situ!” teriak Dios parau.
    Kayla tidak bisa bergerak, kakinya membeku! Dengan ngeri dipandangnya Mario yang menatapnya bengis. Tetapi, Mario justru berpaling ke arah Dios, berdiri angkuh menantang adiknya ynag terkapar di tanah.
    “Rupanya kau sudah bosan hidup!” teriaknya menggelegar. “Kalau begitu, bersiaplah dan ucapkan selamat tinggal padanya!”
    Mario mengangkat kedua tangannya, kemudian bola api sangat besar terbentuk, semakin lama semakin padat. Sekali lihat saja Kayla tahu, Dios tak akan bisa bertahan dari serangan Mario kali ini. Cemas, ia berpaling pada Dios yang masih tergeletak di tanah, padahal bola api Mario sudah membesar. Harapannya timbul ketika Dios menggerakkan kepala, melihat padanya. Bangunlah, Dios! Cepat lari!
    Kayla terperangah ketika Dios tersenyum padanya. Senyum terindah yang pernah dilihatnya… Dios berusaha untuk mengatakan sesuatu, dan Kayla merasa seperti tersiram air es yang dingin ketika berhasil membaca gerak bibirnya.
    “Maafkan aku…”
    Mereka saling berpandangan. Jelas sudah bagi Kayla makna kata-kata Dios.  Dios sudah tidak bisa bangkit lagi, dan berminat mengikuti Kid dan Dainty (Mereka sudah mati). Kayla merasakan air mata bergulir di pipinya, tetapi ia tidak mampu menghapusnya. Ia tidak mau kehilangan Dios! Kalau Dios pergi, ia harus ikut bersamanya…!
    Tanpa berpikir lagi, Kayla berlari kea rah Dios. Ia tidak peduli pandangan mencegah Dios maupun bola api Mario yang sudah meluncur deras. Ia tidak peduli apa pun. Ia hanya mengikuti kata hatinya, dan hatinya ingin terus bersama Dios…!
    Kristal di dahi Kayla bersinar terang ketika ia menjatuhkan diri. Bersamaan dengan itu, di sekeliling mereka terbentuk kubah cahaya yang memantulkan bola api Mario begitu menyentuhnya sehingga berbalik kea rah pengirimmnya!
    Terlalu terkejut apa yang terjadi, Mario tidak dapa menghindari bola apinya sendiri. Diiringi dentuman keras, bola api itu meledak, menimbulkan cahaya yang menyilaukan mata dan gelombang udara yang berembus keras di sekitar tempat itu.
    Teriakan Mario masih sempat terdengar…, kemudian…, senyap. Gumpalan debu dan embusan angin mereda setelah beberapa saat.
    “Kayla…”
    Kayla mengangkat kepala, melihat Dios yang memandangnya.
    “Sudah berakhir. Kau bisa tenang sekarang.”
    Kayla langsung menangis. Sungguh aneh, ia menangis sekaligus tertawwa. Senang, sedih, lega, semua berbaur jadi satu. Tubuh Mario tergeletak tak berdaya, menghitam dan jelas tidak akan bisa bangkit kembali. Mereka berhasil!
    “Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi…,” bisik Kayla di tengah isaknya.
    “Rupanya, Kristal di dahimu ini menciptakan tabir pelindung untuk kita,” sahut Dios. “Aku melihatnya bersinar tadi.”
    “Benarkah? Aku sama sekali tidak menyadarinya….”
    “Kristalmu ini benar-benar hebat.ia bahkan melindungi kita!”
    Kata-Kata Dios membuat Kayla teringat sesuatu. Ditatapnya Dios lekat-lekat.
    “Dios…, ingatkah kau yang dikatakan Nenek Luina dulu? Bahwa Kristal ini adalah Kristal pencucui ingatan?” tanyanya cemas.
    Dios mengingat-ingat sejenak.
    “Iya, aku ingat. Memangnya kenapa?”
    “Nenek bilang, sihirnya akan patah kalau penyihirnya mati. Tetapi, mengapa setelah Mario mati aku tetap tidak ingat apa-apa?”
    Dios terperangah.
    “Kau benar…,” katanya lambat-lambat. “Apakah ini berarti Mario masih…—“
    Serentak, Kayla dan Dios menoleh kea rah Mario yang masih tergolek, takut kalau tiba-tiba tubuh yang sudah hitam itu bangun lagi.
    “Itu karena bukan Mario yang menyihirmu.”
    Sebuah suara, dingindan dalam, terdengar, “… Melainkan aku.”
    Seorang wanita berambut pirang, dengan sebuah tongkat kayu di tangannya, berdiri dalam bayangan sebuah pohon. Dios mengenali suaranya sebagai orang yang menghilang ketika mereka dikepung si Tinggi Besar dan teman-temannya. Wanita ini maju beberapa langkah, sehingga sosoknya lebih jelas terlihat sekarang. Jubahnya melambai seiring langkahnya.
    Melihatnya, Mio langsung menyerbu, seakan ia punya suatu dendampada wanita ini. Tetapi dengan satu kibasan lengannya, Mio terpental mundur.
    “Siapa kau?” Tanya Kayla, terkejut akan munculnya musuh baru ini.
    “Rupanya kau sudah lupa padaku,” sahut wanita itu, kemudian menambahkan dengan manis, “Ah, tentu saja! Aku baru ungat kalau aku telah mencucui ingatanmu. Namaku Erica.”
    “Apa maumu?” Tanya Dios wapada.
    “Mauku? Tentu saja kekuatan Amigdala!  Tidakkah itu jelas? Hatus kuakui, aku tidak mengira kalian bisa sejauh ini.”
    Erica melirik tubuh Mario dengan pandangan jijik. “Bahkan dengan kekuatan Amigdalus ditangannya, dia tidak mampu mengatasi alian. Dasar bodoh!”
    “Kalau begitu, kau oasti Karpathian yang membantunya membebaskan diri!” teriak Kayla, teringat yang dikatakan Mario di Gunung Ner (Gunung dimana Mario bangkit).
    Erica menoleh padanya.
    “Membantunya?” ejeknya. “Itu ‘kan menurut dia. Yang sebenarnya, aku memperalatnya untuk mendapatkan kekuatan Amigdalus. Si bodoh ini mengira aku membantunya. Ck!”
    “Tidak mungkin!” kata Dios. “Bagaimana kau bisa memperalatnya?”
    “Kelihatannya aku harus menceritakan semua kepada kalian agar kaian tidak mati penasaran nanti,” sahut Erica cepat. “Baiklah. Semua ini berawal dari ketika aku kan menyucikan tongkstku di Gunung Ner. Aku melihat seorang terkurung dalam sebuah Kristal, dan berkat kekuatanku aku bisa berkomunikasi dengannya. Ia berkata bahwa ia adalah calon Amigdalus, yang membuatku sangat tertarik mendengarnya karena aku menginginkan kekuatan legendaries itu untuk menjadi penyihir terkuat sepanjang masa!”
    Kayla bergidik. Wanita itu menakutkan. Tidak hanya penampilannya, bahkan  cara berpikir dan ambisinya.
    Erica melanjutkan ceritanya. “Masalahnya, yang bisa membangkitkan kekuatan Amigdala hanya seorang laku-lakimaka aku memutuskan untuk memakai Mario. Yang mengurungnya adalah Kristal Zauri, maka yang kubutuhkan adalah Kristal yang kekuatannya sebending, yaitu pecahan Kristal Zauri yang dulu hilang, yang kukuetahui ada padamu.”
    “Aku?” tanpa sadar Kayla menunjuk dirinya sendiri.
    “Betul.tapi, kau berhasil menetahuinya. Rencanaku yang seharusnya rahasia itu! Karena itulah, kukunci ingatanmu, kubungkam temanmu itu.”
    Erica menggoyangkan kepala ke arah Mio yang meronta marah ingin bebas dari genggaman Kayla. “Lalu kukirim Kalian kesini. Tanpa kusadari, kau membawa serta benda yang sangat kuperlukan itu! Pecahan Kristal Zauri telah menyatu dengan kristal pencucui ingatan yang telah ku buat, dank au membawanya kemana-mana selama ini! Karena itulah kukejar kau sampai kesini.
    “Tapi, kemudian keberuntungan menaungiku. Kau malah berjumpa dengan adik Mario, yang sedang mencari kakaknya yang hilang, lalu kalian justru mendatangi Gunung Ner. Kebetulan yang menyenangkan! Benda yang kucari-cari setengah mati,ternyata malah datang sendiri ke tempat tujuan!”
    Kata-kata Erica menjelaskan semua pertanyaan tentang Kristal didahi Kayla. Pantas saja Kristal pengurung Mario langsung hancur begitu Kayla menyentuhnya. Kayla jadi mengerti bagaimana ia bisa menerbangkan fusan tanpa kristal. Lalu, bola api yang terpantul. Rasanya, tinggal satu misteri yang belum terpecahkan.
    Kayla nekat berdiri, lalu berseru, “Katakan, siapa aku sebenarnya!”
    Erica tersenyum tipis.
    “Justru di sinilah bagian yang menyenangkan. Kau sudah merepotkan aku sejauh ini. Memangnya, aku mau memberitahukannya begitu saja padamu?!”
    Erica maju beberapa langkah, kemudian memandang dingin pada Kayla dan berkata, “Bagaimana jika kau mati tanpa mengetahui siapa dirimu sebenarnya?”
    Kayla tidak menjawab.
    Dios berdiri, lalu berkata, “Kau tidak bisa melakukan itu!”
    “Siapa bilang?” bentak Erica marah. “aku tohsudah menghabisi nenek tua itu, tak banyak bedanya kalau kutambah satu lagi!”
    Mendengar ini, baik Dios, Kayla, Maupin Mio terdiam. Sesaat kemudian, ketiganya sudah dialiri gelombang amarah terhadap Erica.
    “UNTUK APA KAU MELAKUKANNYA?” raung Dios murka. “Dia cuma seorang Nenek!”
    “Pertama, karena dia tak mau mengatakan kemana kalian pergi,” jawab Erica tersenyum senang. “Tapi, terutama karena aku ingin menciptakan teror di antara kalian!”
    “Kau…!”
    Dios mengayunkan pedangnya, tetap ia langsung terhuyung kehabisan tenaga. Setidaknya, satu sabit perak mungil muncul, melunur deas kea rah Erica. Tanpa diduga, Erica mengangkat tangannya, membentuk sebuah perisai yang melindunginya. Sabit perak itu memantul mengenai sebuah batu besar yang langsung hancur berkeping-keping.
Celaka! Bahkan sabit perak pun dapat ditangkis oleh wanita mengerikan itu! Padahal, Dios sudah kehabisan energi, dan Kayla tahu dirinya sendiri tidak bisa diharapkan. Bagaimana caranya bisa lolos dari Erica?
    “Tindakan bodoh! Bagaimana kalau kukirim serangan balasan?”
    Erica mengibaskan tongkatnya. Dios langsung terempas kebelakang, sementara Mio terlempar dan tergeletak di tanah tak bergerak. Ketika akhirnya ia mendongak, Kayla melihat darah menetes dari sudut bibir Dios.
    “Dios!” jeritnya, lalu memburu kea rah Dios. Tetapi, Erica kebih cepat. Tiba-tiba saja, seolah diikat tali yang tidak terlihat, Kayla melayang kaku di atas tanah dengan tangan terbentang lebar, tak bisa bergerak sama sekali.
    Dios bangkit hendak menolong, tetapi kemudian ia diserang batuk-batuk hebat, lalu memuntahkan darah ke tanah. Rupanya, serangan Erica tadi—entah bagaimana—telah menyeran organ bagian dalam tubuhnya. Kayla dengan pilu menyaksikan bagimana Dios berjuang keras menghentikan batuhnya, kemudian telentang dengan napas terengah, sementara ia hanya bisa diam menonton.
    “Baik,” terdengar suara dingin Erica dari belakang Kayla. “Sekaang giliranmu!”
    Detik berikutnya, Kayla menjerit sekuatnya karena rasa nyeri yang amat sangat. Sulit digambarkan bagaimana rasanya, tetapi sepertinya setiap tetes darahnya memberontak dan inin mendobrak pori-pori kulitnya. Setengah dirinya ingin bertahan, tapi separuhnya lagi sudah tidak tahan. Ia sudah lelah. Hatinya terpecah ketika kehilangan Kid, kemudian Dainty, dan tak sanggup lagi melihat penderitaan Dios, yang samar-samar dilihatnya sedang mengawasinya dngan cemas dalam usahanya untuk bangkit, sambil meneriakkan sesuatu yang tak bisa didengarnya. Ketika siksaan itu berakhir, ia merasakan tubuhnya melunglai ke tanah. Untuk sesaat pandangannya menjadi buram.
    “Kayla!”
    Kayla mendengar Dios berteriak, merasakan bahunya diguncang, lalu dengan susah payah ia membuka matanya. Ia melihat dua buah bola mata hitam itu, yang biasanya menatapnya dingin, kini menyiratkan satu hal” kekhawatiran.
    “Syukurlah,” bisik Dios lega. “Kau masi hidup.”
    Menyadari hal ini tidak akan bertahan lama, Kayla berkata lirih, “Sudahlah, Dios”
    Dios terdiam, heran.   
    “Tak mengapa ingatanku tak kembali. Aku telah berjumpa denganmu…, dan itu adalah kenangan terbaik yang pernah kuinginkan…,”
    Dios tidak menjawab. Tetapi, sorot matanya memancarkan sejuta makna, yang semuanya telah dipahami Kayla, dan ia bahagia karenanya.
    “Cukup!” Aku sudah terlalu lama menunggu!”
    Erica mengarahkan tongkatnya pada Mario,merapa sesuatu. Dari tubuh Mario kemudian keluar sinar-sinar seperti jarum, meluncur kke atas, kemudian mengarah dan masuk ke dalam tubuh Erica.  Setelah beberapa saat, hujan sinar itu berhenti dan Eruca mulai memancarkan pendar yang sama dngan Mario ketika ia masih hidup. Menyadari kekuatan Maio—kekuatan Amigdala—telah pindah kepadanya, Erica tertawa terbahak-nahak.
    Suara tawa Erica membuat Kayla pening. Tetapi, ia tahu, begitu Ericaberhenti tertawa, harapan mereka pupus sudah. Kayla tahu Dios belum ingin menyerah. Tetapi, dengan kekuatannya sendiri pun Erica sudah sangat hebat, apalagi jia digabung dengan kekuatan Mario. Benteng pertahanan mereka pun hamper runtuh. Yang tersisa sekarang hanyalah menunggu datangnya keajaiban. Mungkin Kristal Zauri, yang kekuatannya tidak bisa ia kontrol, mau melakukan sesuatu sekali lagi. Kemungkinannya amat kecil….
    Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Tawa Erica tica-tiba terhenti, kemudia ia terdiam membeliak keheranan. Beberapa saat kemudian, ia meronta-ronta sambil mengumandangkan teriakan kasakitan, membuat ngeri siapa pun yang mendengarnya.
    “A…—apa yang terjadi padanya? Tanya Kayla bingng.
    Dios menatap Erica yang wajahnya aneh dan mengerikan, lalu menjewab, “dia sendiri yang mengatakan tadi, pewaris Amigdala haruslah seorang laki-laki. Inilah yang terjadi kalau seorang wanita menyerap kakuatan itu.”
    Sinar-sinar hitam yang tadi masuk ke tubuh Erica keluar lagi, lalu melesat menuju pedang Godard, perisai Elgamb, sarung tangan Menasphius.
    Erica jatuh berdebam dengan mata terbuka lebar.
    Ia sudah mati!
    Bersamaan dengan itu, tubuh Mio membesar, berubah menjadi manusia: seorang gadi berambut hitam yang meringkuk di antara rerumputan.
    Kayla menjerit sekali lagi karena Kristal di dahinya terasa panas menyengat, lalu jatuh terlepas begitu saja. Selama beberapa saat ia terengah, menatap nanar ke arah langit yang kini penuh bintang karena pilar merah itu telah lenyap dalam sekejap. Akhirnya….
    Kayla menatap Dios yang masih memeganginya, lalu berkata, “Dios, aku ingat namaku/1 aku ingat semuanya…”
    Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kayla merasakan pandangannya menjadi gelap dan kesadarannya hilang.
    Dios berusaha menyadarkan Kayla. “Kayla. Ayo bangun! Bukalah matamu! Kayla…m atau siapapun namamu…”
    “Namanya Regia Vien al Tribiald”
    Dios mendongak, melihat Zen telah tiba di situ, menutupi tubuh Mio yang sudah menjadi manusia kembali dengan mantelnya, lalu berjalan menghampiri Dios dan Kayla. Wajah Zen datar, tidak menyiratkan apa pun.
    Merasa heran, Dios mengajukan pertanyaan.
    “Darimana kau tahu?”
    Zen diam sesaat sebelum menjawab.
    “Karena dia adalah tunanganku. Aku ingin kau pergi darinya.”

                                         *    *    *

Sabtu, 05 Mei 2012

Favorite Part of "Zauri" #2

Ini juga salah satu bagian dari beberapa bagian yang aku suka dari Novel Zauri karya Dian K. Disini Dios terluka parah karena perkelahiannya di istana Elgamb untuk mendapatkan sebuah perisai guna menemukan kakaknya yang hilang.

BAB 6—DESA EMIT—

Mereka—Kayla, Mio, Dios, Kid, Dainty, ‘Kayla’ (Mayorka), dan ‘Mio’ (Bruno)—mendarat di sebuah pondok tua yang hampir hancur, di luar Kota Arian. Luka-luka Dios cukup banyak, dan walaupun telah mereka rawat sebisanya beberapa luka masih terbuka dan meneteskan darah.
    Dios diangkat dari dalam fusan, lalu dibaringkan di dalam satu-satunya kamar yang masih beratap, diam tak sadarkan diri. Dainty sangat panik, mandorong Kayla dan membersihkan darah Dios.
    “Dios! Ya ampun...., banyak sekali lukamu!”
    Kayla berdiri, menyekap mulutnya, amat syok melihat luka-luka Dios. Mio terbang diatas bahu Dios, memandangi wajah Dios yang pucat.
    “Kid, celaka! Lihat luka di bahu ini!” Dainty membuka baju Dios untuk melihat lukanya,
    “Astaga!” seru Kid terkejut. “Pedang si Pangeran pasti mengandung racun!”
    Luka di bahu Dios telah berubah kehijauan. Bahunya sekarang bengkak.
    Kayla merasa bersalah. Kalau saja ia tad tidak memanggil Dios, Dios tak akan mungkin lengah dan  tak mungkin tertebas.
    “Seandainya tanduk arugis itu tidak dibawa si Menucci....”
    “Kid!” kata Dainty tiba-tiba. “Aku punya phoabia, kutanam dalam pot di kamarku. Tak sebagus kalau pakai arugis, tapi...—“
    “Ayo, kata ambil! Phoabia mestinya bisa mengeringkan lukanya.”
    Dainty pergi ke luar. Kid berpaling pada Kayla.
    “Kayla, jaga Dios, ya. Kami akan ke Arian mengambil obat.”
    Kayla menganguuk. “Baik. Cepat, ya, Kid.”
    Kid melesat ke luar. Terdengar pertengkaran antara Dainty dan ‘Kayla’—Mayorka. Rupanya si pemilik fusan tidak sudi mengantar mereka ke Arian. Tetapi, tak lama pertengkaran itu selesai. Kayla menduga Kid telah mengeluarkan belatinya. Didengarnya fusan itu pergi dengan berisik desertai jeritan ‘Aduh!’, ‘Awas!’ dan suara dahan-dahan patah.
    Kayla berlutut di samping Dios. Wajah Dios pucat dan berkeringat. Dia mulai mengigau. Kayla menyentuh kenngnya dengan cemas.
    “Mio...., dia panas sekali! Apa yanng harus aku lakukan?” tanyanya hampir menangis.
    Mio melihat sekeliling. Ruangan itu kosong, hanya ada sisa-sisa kayu kering di sudut. Kemudian, ia masuk ke dalam tas yang di tinggalan Kid, lalu keluar dengan membawa secarik kain. Mio menunujuk Kayla, lalu menunjukk lantai.
    “Maksudmu..., kau mau pergi? Kau mau aku menunggu?”
    Mio mengangguk.
    “Baiklah. Hati-hati, ya!”
    Mio terbang keluar dengan carikan kain tergantung di tangannya.
    Dios mengerang pelan.”Dios..., kau bisa mendengarku?”
    Dios tidak menjawab. Demamnya semakin tinggi. Kayla mulai menangis.
    “Maaf, Dios,” isaknya. “ini semua salahku.”
    Kayla menyeka pipinya, tetapi air matanya tidak mau berhenti bergulir. Ia berusaha berhenti menangis karena ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk meredakan demam Dios.
    TiBa-tiba, tangan Dios bergerak dan memegang tangan Kayla.
    Kayla terlonjak kaget. “Dios! Kau...—kau sadar...?”
    “Jangan menangis,” kata Dios lirih. “Bukan salahmu.”
    “Bagaimana keadaanmu?”
    “Kepalaku... sakit,” jawab Dios sambil memejamkan mata.
    “Kau demam. Dainty dan Kid sedang mengambil obat. Dios...? Dios...!”
    Tetapi, Dios diam saja, membuat Kayla terisak lagi.
    “Sudah kubilang..., jangan menangis!” kata Dios tiba-tiba, manatap Kayla dengan kesal.
    “Habis, kau diam saja. Aku takut kau...—“
    Dios mendengus.
    “Aku tak akan mati sekarang, jika itu yang kau pikirkan! Aku tak mau kau menangis. Tangisanmu membuatku lemah.”
    Kayla tak tahu harus membuat apa. Kata-kata Dios membuatnya lebih tegar, sekaliguss... senang, atau apapun itu, ia tak bisa menjelaskan apa namanya. Hatinya tersa hangat. Kayla berhenti menangis dan mereka tak bicara apa-apa lagi. Tetapi, jemari Dios menggenggam tangannya begitu erat, sampai terasa sakit.
    Mereka terdiam cukup lama. Mio muncul dengan kain yang sudah basah diletakkannya kain itu dikening Dios.
    Terdengar derap langkah mohaz di luar pondok. Tak lama kemudian, Kid dan Dainty masuk, membawa sebuah tanaman perdu kuus pendek yang baru di cabut dari tanah. Warnanya hijau kebiru-biruan, berdaun mungil bergerombol, membentuk gumpalan yang tersebar diantara rantingnya.
    “Bagaimana Dios?” tanya Dainty, sementara Kid menghaluskan tanaman itu dengan alat penumbuk.
    “Masih demam,” jawab Kayla.
    “Apa dia sadar?”
    “Tadi bicara sedikit.”
    “Apa katanya?”
    “Dia menyuruhku...—eh..., katanya..., kepalanya sakit.”
    Kid menghampiri mereka. Lalu, terdiam melihat tangan Dios.
    “Apa?” tanya Kayla.
    “Sampai kapan kau akan memeganginya?” tanya Dainty, cemberut.
    Kayla tersadar, mukanya memerah. “Oh!” katanya, lalu berdiri, tetapi tak bisa karena tertahan Dios.
    “Dios, Kid akan mengobatimu. Lepaskan aku.”
    Tetapi, Dios tidak melepaskannya. Maka Kid menyuruh Dainty minggir sedikit dan menempati tempatnya. Tanaman Phoabia yang telah dihaluskan itu dilumurkan pada luka dibahunya, kemudian dibalut dengan kain yang bersih. Sisa ramuan itu dioleskan pada luka-luka yang lain. Dainty memasang wajah masam.
    Kid membereskan barang-barang mereka. “Kita harus segera pergi dari sini.”
    Kayla terperangah. “Kenapa?”
    “Mereka mencari Dios. Para pengawal itu!” Dainty berkata dengan nada menyalahkan.
Kayla lagi-lagi disergap rasa bersalah.
    “... penyusup yang nyaris membunuh Putra Mahkota.”
    “Anehnya, mereka juga mencarimu,” kata Kid pada Kayla, sambil menari Dios dan berusaha membuatnya tegak. Ini susah karena Dios sangat jakung, jauh lebih tinggi darinya.
    “Apa?!”
    “Kurasa..., yang ini salahku,” kata Kid meringis, meminta maaf. “Aku meneriakimu waktu kita nyaris menabrak benteng. Mereka pasti mendengarnya.”
    “Lalu, kita mau ke mana?” Kayla yang masih bingung bertanya.
    “Desa Emit,” gumam Dios pelan. Rupanya ia tersadar dan menyimak pembicaraan mereka. Wajah Kid berubah cerah.
    “Betul! Nenek Luina pasti membantu kita!” katanya, lalu menaikkan Dios ke atas kereta.
    Untunglah Dios sudah sadar sehingga walau tertatih ia masih bisa naik sendiri. Duduk dibelakang, , Dios menyernyit menahan sakit sementara Dainty menyelimutinya.
    Kayla duduk disebelah Kid yang langsung memacu mohaz begitu mereka duduk. Dios masih terlihat parah, walau luka dibahunya berangsur mengering. Mio duduk di bahu yang satu lagi.
    “Apa yang terjadi pada ‘Kayla’ yang asli?” tanya Kayla.
    “Apa?” sela Dainty kaget. “Jadi yang palsu itu justru kau?”
    Kayla mengangguk. “Ceritanya panjang. Lain kali saja aku cerita.”
    “Si Hitam itu menolak mentah-mentah mengantarkan kami ke Arian. Tapi, persis seperti yang kubilang, dia itu pecundang. Baru sebagian belatiku terhunus, sudah ribut minta ampun. Lalu kami pergi ke tempat Dainty dulu mengambil Phoabia,” jelas Kid.
    “Aku menitipkan rumah minumku pada pada pelayanku karena akan ikut kalian,” sambung Dainty.
    “Kemudian, kami pergi ke penginapan. Pada saat itulah kami mendengar ribut-ribut tentara Elgamb menggeledah rumah-rumah. Begitu kami turun dari fusan, si Hitam itu langsung kabur.”
    “Untung Kid sangat cekatan. ia langsung mengambil semua barang kalian dan kami menyelinap dengan kereta ini sebelum mereka tiba,” kata Dainty.
    Kid terlihat salah tingkah mendengar pujiannya.
    “Tak apa-apakah kautinggalkan rumah minummu, Dainty?” tanya Kayla.
    Dainty mengankat bahu. “Toh cepat atau lambat para pengawal itu akan mencariku juga karena kita berteman.”
    Matahari mulai terbit di ufuk. Perlahan namun pasti, cahayanya mengusir kegelapan malam. Kid membawa mohaz melewati jalan yang rimbun oleh pepohonan. Seekor muphy melompat menghindarketika nyaris tergilas roda kereta di tikungan.
    “Kid...” Kayla menatap Kid. “Sebenarnya, apa yang dicari Dios dari perisai itu? Kanapa begitu penting baginya?”
    Kid tidak langsung menjawab. Ia melirik Dios yang rupanya tertidur. “Itu..., harus kau tanyakan sendiri padanya, Kayla.”
    “Sudah pernah kutanya,” kata Dainty. “Ia tak mau menjelaskan.”
    “Nanti juga kalihan tahu.”
    “Kau seperti Dios saja! Selalu menjawab dengan singkat, seperti kehabisan kata-kata,” gerutu Dainty. “Dan..., demamnya tak mau hilang! Apakah desa itu masih jauh? Aku harus merawatnya!”
    Kid berusaha memacu mohas secepat ia bisa. Menjelang tengah hari mereka tiba di Desa Emit. Desa itu terasa amat tenang, tersembunyi dibalik hutan kecil, dengan sungai jernih mengalir membelah desa. Rumah-rumah terpisah jauh satu sama lain, suasananya sepi. Tampaknya penduduknya bercocok tanam atau berburu.
    Kid menghentikan mohaz di depan rumah yang paling ujung, yang berdiri tegak di tepi sungai. Berdua Dainty, ia memapah Dios masuk. Seorang nenek bertubuh mungil menyonsong dari dalam rumah.
    “Dios! Ya ampun, apa yang terjadi?” teriaknya, tergopoh-gopoh menghampiri. Dibawanya mereka masuk ke dalam kamar. Setelah Dios terbaring diatas tempat tidur, si nenek berpaling pada Kayla dan Dainty.
    “Sebaiknya, kalian keluar dulu.”
    “Tidak, Nek, aku ingin tetap disini,” sahut Dainty keras kepala.
    “Aku harus membuka bajunya,” kata Nenek sambil tersenyum.
    Kayla dan Dainty berpandangan. Akhirnya, mereka keluar.
    Butuh waktu lama bagi si Nenek untuk melakukan entah apa pada Dios. Kayla menunggu dengan gelisah. Mereka lama diperjalanan. Apakah racunnya sudah menyebar? Apakah sudah terlambat untuk menolongnya?
    Ketika Dainty mulai tertidur di kursi, pintu kamar membuka. Kid keluar membawa setumpuk kain berlumuran darah, mengacungkan ibu jaru, kemudian berjalan menuju pintu lain. Nenek keluar, kelihatan letih tetapi tersenyum puas.
                                                           *    *    *
   “Dios sudah ku anggap cucuku sendiri. Aku tak punya keluarga lagi dan begitupun dia,” kata Nenek Luina.
    Mereka duduk di teras belakang yang menghadap ke sungai. Pemandangan di depan mereka amat indah. Rupanya mereka di atas bukit sehingga pemandangan yang terlihat amatlah luas. Mereka duduk di lantai dengan nyaman.
    “Dahulu keluarganya tinggal di sini.”
    “Di sini, Nek?” kata Dainty antusias.
    “Betul, Nak. Lihat rumah di lembah itu?” nenek menunjuk rumah di kejauhan. “Itu adalah rumahnya. Mereka hidup bahagia—Dios, ayah-ibunya, dan kakak laki-lakinya.”
    Ternyata Dios punya keluarga. Ia tak pernah menceritakan apa pun mengenai mereka.
    “Ayahnya adalah petarung yang tangguh. Yah..., kalian bisa melihat sendiri kemampuan Dios. Semua bakat ayahnya menurun padanya, kukira. Ibunya wanita sederhana yang tidak banyak bicara.”
    Nenek menghirup sari bunga rasmea-nya. Minuman dalam gelasnya masih terlalu panas, maka setelah meminumny sedikit diletakannya helas itu di lantai, lalu meneruskan cerita.
    “Setiap hari, Dios dan kakaknya, Mario, belajar bertarung. Juno, ayah mereka, mengajarkan semua yang ia kuasai,. Suamiku, Dominggo, adalah sahabat baik Juno. Maka mereka berdua mendidik kedua anak itu.
    “Mario jauh lebih tua daripada Dios, sekitar sepuluh tahun mereka jarak usia mereka. Ketika umurnya delapan belas tahun, ia sudah menjadi pengawal Istana Elgamb yang gagah. Kuakui gamblengan Juno membuahkan hasil yang baik. Hanya dalam waktu singkat, Mario diangkat menjadi panglima. Ketika umurnya dua puluh tahun, Mario kembali untuk menikah dengan Felia.”
    “Siapa Felia?” tanya Dainty.
    “Dia gadi desa ini..., yatim piatu. Gadis yang amat cantik, seingatku. Namun, sayang, mereka tidak jadi menikah...”
    “Kenapa?”
    “Felia ditemukan mati di rumahnya. Hanya sehari setelah Mario pulang. Dari tubuhnya, diketahui ia dibunuh orang. Inilah awal dari semuanya.”
    Kid, Dainty, dan Kayla saling berpandangan.
    “Mario amat terpukul. Ia kembali ke ibukota segera setelah pemakaman, dan lama kami tak melihatnya. Akhirnya, ketika Dios berusia dua belas tahun, Mario pulang. Tapi kepulangannya membuahkan bencana. Suatu hari penduduk desa melihat mario dan Juno, bersenjata lengkap, pergi entah kemana. Dios yang baru pulang berlatih bersama suamiku, pulang mendapati ibunya sedang sekarat. Wanita malang itu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan suamiku. Anehnya, sama sekali tak ada bekas luka di tubuhnya...”
    “Lalu..., bagaimana ia bisa meninggal?” tanya Kayla ngeri.
    “Tak ada yang tahu, Nak..., tak ada yang tahu... Kasihan Dios. Ibunya meninggal..., ayah dan kakaknya pergi, tapi hanya sang ayah yang kembali. Juno kembal dengan luka yang amat parah. Bagaimana ia bisa sampai di sini, aku sama sekali tidak mengerti. Namun, hidupnya pun tak lama. Hanya beberapa saat setelah ia memeluk Dios kecil, yang menangis, ia meninggal.”
    Nenek Luina menghela napas panjang.
    “Juno tak sempat meninggalkan pesan apa pun. Ia hanya menyerahkan dua belah pedang pada Dios. Yang satu adalah pedangnya sendiri, Endymion, yang sekarang digunakan Dios. Pedang yang satu lagi, berlumuran darah, kami kenali sebagai pedang Mario karena tandanya. Tanda naga melingkar.”
    “Sejak itu, Dios tinggal bersama kami. Dominggo melatihnya setiap hari dan kami bangga pada kemajuannya. Tapi, ia tumbuh menjadi pemuda yang pendiam. Ia sering ke rumah orang tuanya, atau menyambangi makamnya. Aku tahu ia pasti selalu bertanya-tanya tentang kematian orang tuanya yang misterius.
    “Kemudian suamiku meninggal. Bukan, bukan dibunuh,. Hanya usia tua,” Nenek tersenyum pada Kayla dan Dainty. “Aku menyadari, akupun sudah tua. Mungkin umurku sudah tak lama lagi. karena tak tega memikirkan Dios hidup sendiri, ku suruh ia mencari jejak kakaknya. Aku yakin Mario masih hidup, di suatu tempat. Satu-satunya petunjuk adalah pedang dengan tanda naga melingkar itu.
    “Maka, Dios berkelana mencari petunjuk. Dan akhirnya ia menemukan petunjuk kedua, sebuah sarung tangan. Kami semakin yakin bahwa kami berada di jalan yang benar.”
    “Kami menemuka petunjuk ketiga, Nek!” kata Kid bersemangat. “Sebuah perisai!”
    “Kita akan lihat setelah Dios bangun nanti,” kata Nenek tersenyum, lalu berpaling pada Kayla. “Ada sesuatu yang ingin kuketahui.”
    Nenek kemudian menatap Kayla begitu tajam sampai Kayla merasa seperti akan meleleh. Duduknya  pun jadi gelisah.
    “Nak,” kata Nenek lembut. “Aku yakin, kau hilang ingatan.”
    Ketiga orang yang mengelilinginya terperangah dengan alasan yang berbeda-beda.
    “Kayla hilang ingatan?” seru Dainty kaget.
    “Aku..., ng...—“
    “Darimana Nenek tahu? Aku ‘kan belum bilang pada Nenek!”
    Nenek meraba kristal di kening Kayla. “Ini, bukan kristal biasa. Ini adalah kristal pencuci ingatan. Kau telah dikutuk oleh seorang penyihir yang kuat agar tidak bisa mengingat apa-apa”
    “Pencuci... ingatan?”
    “Betul, Nak”
    Jadi ada yang mengunci ingatannya. Siapa...? Dan mengapa? Sesuatu berkelebat dalam pikiran Kayla.
    “Nenek, kalau ini adalah kunci, apakah ada cara untuk membukanya?”
    “Tentu saja ada.”
    Wajah Kid cerah. “Bagaimana caranya, Nek?”
    Nenek menggeleng kepala. “Sayang sekali..., ini adalah sihir tingkat tinggi, tak mudah dihancurkan. Kita harus mematahkan ilmunya.”
    “Memetahkan...—“ Kid tercenung. “Maksud Nenek...?”
    “Membunuh penyihirnya.”
    Secercah harapan yang timbul di hati Kayla meredup lagi.
    “Nah!” Kid yang belum menyadari pokok permasalahan, masih bersemangat. “Setelah kita tahu ada cara untuk mengembalikan ingatan Kayla, kita beisa bertindak, ‘kan?”
    “Ini sulit, Kid,” kata Kayla muram.
    “Sulit apanya? Kita bsa mencarinya, ‘kan?” aku dan Dios toh bisa berburu! Mencari sesuatu adalah keahlian kami! Tenang saja!”
    “Tapi siapa yang menyihirnya?” tandas Dainty memadamkan api semangat yang dikobarkan Kid. “Apa kau akan mengetu pintu setiap rumah di Elgamb, menanyai setiap orang apakah mereka menyihir Kayla?”
    “Oh.”
    Dainty benar. Mencari orang yang menyihir Kayla jauh lebih sulit daripada mencari kakak Dios. Setidaknya, Mario meninggalkan petunjuk.
    “Seandainya kristal Zauri masih ada, kata Nenek menerawang. Tiga pasang mata menatapnya.
    “Apa itu, kristal Zauri...?” tanya Kid.
    “Dahulu, negeri Elgamb memilik sebuah kristal yang amat istimewa. Biasanya, sebuah kristal membutuhkan kekuatan seorang karpatihan     untuk membangkitkan kemampuannya. Kalian mengetahuinya, bukan? Seperti misalnya kristal fusan,” kata Nenek. “Tetapi lain halnya dengan kirstal Zauri. Ia memiliki kekuatannya sendiri. Bahkan, ia mampu membuat orang biasa menjadi me-miliki kekuatan gaib. Juga, sangat ampuh mematahkan sihir atau kutukan.
    “Konon, sejak dahulu kristal Zauri diperebukan orang. Suatu ketika, kristal ini pecah menjadi dua karena pertarungan dua orang karpatihan. Pecahan yang lebih kecil hilang entah ke mana. Sedangkan pecahan yang lain dibawa pulang ke Elgamb. Raja Eluan XIV, yaitu ayah dari raja sekarang, menyimpannya dengan hati-hati. Dan, pada saatnya kristal itu menunjukkan keajaiban.
    “Ketika terjadi pemberontakan, pasukan Elgamb yang mengalami kekalahan mundur ke Arian. Hanya masalah waktu saja sebelum pasukan pemberontak mengambil alih istana. Dalam keadaan istana terkepung pasukan musuh, Raja Eluan XIV mengeluarkan kristal Zauri dari kotaknya... Dan, kalian tahu apa yang terjadi?”
    “Apa, Nek?” tanya Kid tegang.
    “Tanah di sekeliling istana runtuh secara luar biasa. Semua pasukan musuh ikut terbawa, tanpa ada yang tersisa. Itulah sebabnya Istana Elgamb sekarang melayang di udara. Anehnya, istana dan seluruh isinya tetap utuh!”
    Ketiga orang pendengar setia itu terpana. Gara-gara pernah menyusup, mereka tahu pasti seperti apa jurang di sekitar Istana Elgamb. Kristal Zauri ini ternyata amat dahsyat!
    “Lalu bagaimana mereka membuat jembatan itu?”
    “Hm..., setahuku, diperlukan benyak kekuatan kristal untuk membuatnya tetap kokoh. Ya, benar, kalau kau melihat bagian bawahnya, Nak, kau akan menemukan banyak sekali kristal di sana.?”
    “Kenapa tidak menggunakan kristal Zauri saja?”
    “Mereka tidak bisa menggunakan kristal Zauri karena kristal itu hilang.”
    “Hilang?!” seru Kid, Dainty, dan Kayla bersamaan.
    “Beberapa hari setelah kejadian runtuhnua tanah di sekitar istana, kristal itu hilang dari kotaknya. Dan sampai kini belum ada jejaknya.
    Kid mendesah kecewa. “Sayang sekali.”
    “Kristal itu pasti bisa digunakan untuk membuka kunci ingatanmu, Nak. Tapi, kau tak usah berkecil hati. Kita pasti bisa dapatkan cara untuk menemukan kunci itu,” bujuk Nenek, membelai rambut Kayla dengan lembut.
    Kayla tersenyum pedih. Mungkin memang ia harus pasrah menjalani hidupnya seperti ini, tanpa masa lalu. Tetapi, setidaknya ia punya masa depan. Dan memang lebih baik ia memikirkan masa depannya. Dan, selama kunci ingatannya belum tebuka, ia tak akan mengetahui apa pun tentang masa lalunya.
    “Nah,” kata Nenek kemudian. “Kalian semua istirahatlah. Aku akan pergi sebentar, bersama teman kecilmu ini, kalau boleh...” Nenek memandang Mio.
    “Mio? Tapi..., Nenek mau kemana?” tanya Kayla heran.
    Nenek membalas pertanyaanya dengan senyuman. “Ada yang berbeda dengan teman kecilmu ini. Hanya ingin memastikan, tak kan lama. Nah, apa kau mau ikut?” Nenek bertanya pada Mio.
    Mio tersenyum mengangguk, lalu mengikuti Nenek ke halaman.
    “Hati-hati, ya!” Kayla melambai pada Nenek dan Mio.
    Tak lama, keduanya menghilang di balik pepohonan.
    Kid bangkit dari duduknya. “Terserah kalian mau apa, tapi aku ngantuk dan capek. Aku mau tidur,” katanya sambil menguap, lalu masuk ke dalam.
    “Aku juga.” Kata Dainty.
    Mereka berdua meninggalkan Kayla sendiri di teras, memandangi matahari senja yang menuju peraduannya.
                                                  *    *